KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini. Salawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada nabi kita
Muhammad SAW.
Penyusunan makalah ini ditujukan untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Membaca dan Menulis di SD. Di dalam makalah ini
membahas tentang “Keterbacaan” yang menguraikan mengenaipengertian keterbacaan,
pentingnya keterbacaan, faktor keterbacaan dan perhitungan keterbacaan dengan
grafik fry.
Terima kasih penulis sampaikan kepada :
1. Nurma Herlinah, M.Pd selaku Dosen
Pengampu mata kuliahMembaca dan Menulis di SD,
2. Teman-teman
kelas SD13-A2 yang telah memberikan kontribusi baik langsung maupun tidak
langsung dalam pembuatan makalah ini,
3. Kedua
orang tua dan segenap keluarga besar penulis yang telah memberikan dukungan
maupun do’a sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Penyusun makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran
dari pembaca sangat kami harapkan supaya kami bisa lebih baik lagi untuk
kedepannya. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi kami dan umumnya bagi
kita semua.
Cirebon, Oktober 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR
ISI .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
....................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah ................................................................................ 2
C. Tujuan
.................................................................................................. 2
D. Metodelogi
penulisan ............... ............................................................ 2
E. Sistematika
Penulisan ........................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian
Keterbacaan ....................................................................... 4
B. Pentingnya
Keterbacaan ...................................................................... 5
C. Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Keterbacaan................................. 7
D. Perhitungan
Keterbacaan dengan Grafik Fry...................................... 13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
.......................................................................................... 20
B. Saran
..................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA
..................................................................................... 22
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Penyusunan bacaan untuk anak tentu berbeda dari
bacaan untuk orang dewasa. Satu hal yang penting diperhatikan ketika menghadapi
anak-anak kesederhanaan. Masa anak-anak adalah masa awal perkembangan untuk
banyak hal sehingga sesuatu yang kompleks belum mampu diserap. Oleh karena itu,
bacaan bagi anak haruslah bersifat
sederhana.
Dunia anak jelas berbeda dengan dunia orang
dewasa.hal ini adalah kesulitan utama dalam penyusunan teks untuk anak. Banyak
aspek yang harus diperhatikan. Adapun aspek terpenting dalam penyusunan teks
anak ini diantaranya adalah bahasa dan ruang lingkup daya tangkap anak-anak
(Liotohe, 1991: 14).
Salah satu teks anak yang penting untuk diperhatikan
dan ditinjau adalah teks pada buku paket sekolah atau buku teks sekolah. Buku
teks sekolah memiliki peran yang penting dalam kegiatan belajar –mengajar di
kelas. Buku teks berfungsi sebagai sumber informasi dan sarana peununjang
kegiatan belajar-mengajar (Indrawati, 2001: 134). Fungsi tersebut
mengindikasikan bahwa teks dalam buku pelajaran jangan sampai dianggap sulit
oleh siswa karena akan membatasi informasi yang didapat dan tujuan kegiatan
belajar mengajar tidak akan tercapai. Bacon (dalam Indrawati, 2001:134) menyatakan
selain harus dibuat oleh para pakar, buku teks juga harus disertai dengan
sarana belajar yang sesuai dan serasi.
Memilih sebuah bacaan yang pantas untuk dikonsumsi
oleh anak merupakan tugas utama seorang guru. Untuk itu, kita harus mampu
memilah dan memilih bacaan yang sesuai. Bahan bacaan tidak hanya berasal dari
buku paket saja, melainkan dari Koran, majalah, pamphlet-pamflet, dan lain
sebagainya. Lalu bagaimana kita menyortir bacaan yang tepat untuk di konsumsi
oleh anak? Seberapa jauh peran guru dalam memilih bahan bacaan yang layak untuk
mereka?
Semua pertanyaan tersebut akan dibahas dalam makalah
yang mengambil topik tentang keterbacaan. Keterbacaan merupakan istilah dalam
bidang pengajaran membaca yang memperhatikan tingkat kesulitan materi yang
sepantasnya dibaca seseorang. Keterbacaan merupakan ukuran tentang sesuai atau
tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu bagi peringkat pembaca tertentu.
Makalah ini akan membahas mengenai pengertian keterbacaan, pentingnya
keterbacaan, faktor-faktor yang mempengaruhi keterbacaan, dan perhitungan
keterbacaan dengan grafik fry dengan tepat.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang
telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1.
Apa itu keterbacaan?
2.
Seberapa penting keterbacaan itu?
3.
Apa saja faktor keterbacaan?
4.
Bagaimana perhitungan keterbacaan dengan
grafik fry?
C.
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas,
maka tujuannya adalah untuk :
1.
Mengetahui pengertian keterbacaan.
2.
Mengetahui pentingnya keterbacaan
3.
Mengetahui faktor-faktor keterbacaan.
4.
Mengetahui perhitungan keterbacaan
dengan grafik fry.
D.
Metodelogi
Penulisan
Pada penelitian ini digunakan metode
deskriptif, merupakan suatu metode yang memusatkan pada pemecahan yang aktual.
Data dikumpulkan dari berbagai literatur, kemudian disusun, di analisis serta
dijelaskan dan selanjutnya disimpulkan.
E.
Sistematika
Penulisan
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
B. Rumusan
Masalah
C. Tujuan
Penulisan
D. Metodelogi
Penulisan
E.
Sistematika Penulisan
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Keterbacaan
B.
Pentingnya Keterbacaan
C.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Keterbacaan
D. Perhitungan
Keterbacaan dengan Grafik Fry
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Keterbacaan
Keterbacaan
merupakan alih bahasa dari “Readability”
yang merupakan turunan dari “Readable”,artinya
dapat dibaca atau terbaca. Keterbacaan berkaitan dengan kemudahan suatu teks
untuk dibaca. Suatu teks dikatakan berketerbacaan tinggi apabila mudah dipahami.
Sebaliknya, teks dikatakan berketerbacaan
rendah apabila sulit dipahami.
Keterbacaan
adalah hal atau ihwal terbaca-tidaknya suatu bahan bacaan tertentu oleh
pembacanya. Keterbacaan mempersoalkan tingkat kesulitan atau tigkat kemudahan
suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu. Keterbacaan
merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu
dilihat dari segi tingkat kesulitan atau kemudahan wacananya. Untuk
memperkirakan tingkat keterbacaan bahan bacaan, banyak dipergunakan orang
berbagai formula keterbacaan. Tingkat keterbacaan biasanya dinyatakan dalam
bentuk peringkat kelas. Setelah melakukan pengukuran keterbacaan sebuah wacana,
orang akan dapat mengetahui kecocokan materi bacaan tersebut untuk peringkat
kelas tertentu.
Harjasujana
dan Yeti Mulyati (1997:106) mengemukakan bahwa,
Keterbacaan merupakan istilah dalam bidang pengajaran membaca yang memperhatikan tingkat kesulitan materi yang sepantasnya dibaca seseorang. Keterbacaan merupakan alih bahasa dari redabality. Jadi, keterbacaan ini mempersolakan tingkat kesulitan atau tingkat kemudahan suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu. Keterbacaan (redability merupakan ukuran sesuai tidaknya suatu bahan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran atau kemudahan wacananya.
Keterbacaan merupakan istilah dalam bidang pengajaran membaca yang memperhatikan tingkat kesulitan materi yang sepantasnya dibaca seseorang. Keterbacaan merupakan alih bahasa dari redabality. Jadi, keterbacaan ini mempersolakan tingkat kesulitan atau tingkat kemudahan suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu. Keterbacaan (redability merupakan ukuran sesuai tidaknya suatu bahan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran atau kemudahan wacananya.
Klare
(dalam Ginting, 1997:56) menyatakan terbacanya suatu teks mengacu pada tiga hal: topografi, minat
terhadap nilai yang terkandung dalam tulisan, dan gaya tulisan. Hal tersebut
sedikit berbeda dengan pendapat Sakri yang menyatakan keterbacaan adalah
menyangkut ketedasan dan kejelahan. Ketedahan adalah sisi keterbacaan yang
dilihat berdasarkan unsur-unsur kebahasaan seperti diksi, bangun kalimat, atau
susunan paragraph. Adapun kejelahan merupakan sisi keterbacaan yang ditentukan
berdasarkan tata huruf seperti besar huruf, kerapatan baris, dan unsur tatarupa
lainnya (Sakri, 1994: 165-166). Dari dua pendapat di atas, pendapat Klare lebih
lengkap karena Sakri tidak memasukkan minat pembaca sebagai salah satu faktor penentu
tingkat keterbacaan.
Keterbacaan
merupakan padanan redability dalam
bahasa Inggris. Istilah ini diartikan Harjasujana, dkk. (1999:10) yaitu:
1.
Kemudahan
tipografi atau tulisan tangan,
2.
Kemudahan
membaca yang disebabkan oleh daya tarik bahan bacaan dan tingkat minat baca
atau,
3.
Kemudahan
memahami bahan bacaan yang disebabkan kecerdasan bahasanya.
Dari
uraian di atas penulis dapat simpulkan bahwa tingkat keterebacaan dapat
diartikan sebagai tingkat kesulitan atau kemudahan wacana.Tingkat
keterbacaan biasanya dinyatakan dalam bentuk peringkat kelas. Oleh karena itu,
setelah melakukan pengukuran keterbacaan sebuah wacana, seorang guru akan dapat
mengetahui kecocokan materi bacaan tersebut yang dapat digunakan untuk
peringkat kelas tertentu. Faktor
yang paling utama mempengaruhi keterbacaan ada dua hal, yakni panjang pendeknya
kalimat dan tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh jumlah huruf dan penyataan
yang membentuknya.
B.
Pentingnya
Keterbacaan
Sebuah bacaan (buku teks) yang memiliki
tingkat keterbacaan tinggi akan mempengaruhi pembacanya. Menurut Klare (dalam
Sulastri, 2011: 3) bacaan yang tingkat keterbacaannya tinggi dapat meningkatkan
minat belajar, menambah kecepatan dan efisiensi membaca. Selain itu juga dapat
memelihara kebiasaan membaca para pembacanya karena mereka merasa dapat
memahami wacananya dengan mudah. Oleh sebab itu, mengetahui tingkat keterbacaan
wacana khususnya buku teks pelajaran Bahasa Indonesia memang diperlukan karena
banyak manfaat yang didapat dari informasi tingkat keterbacaan buku tersebut.
Keterbacaan buku teks khususnya buku
teks Bahasa Indonesia perlu diketahui agar seorang guru dapat memilih buku teks
yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswanya. Jika tingkat keterbacaan sebuah
buku teks sudah diketahui, maka kegiatan belajar mengajar dapat berjalan lebih
lancar dengan bantuan buku ajar yang dapat dipahami dengan mudah oleh siswa.
Siswa dapat memahami materi yang ada di buku dengan ataupun tanpa bimbingan
dari guru mata pelajaran.
BSNP telah menetapkan “keterbacaan” sebagai salah satu
dari lima aspek yang dijadikan standar penilaian buku pelajaran yang baik. Ini
menandakan bahwa faktor keterbacaan wacana harus menjadi perhatian utama dalam
penulisan wacana, terutama untuk bahan ajar dan buku pelajaran. Kita menyadari
bahwa buku pelajaran adalah media pembelajaran yang dominan peranannya di
kelas. Oleh karena itu, buku pelajaran harus dirancang dengan baik dan benar
dengan memperhatikan kelima standar yang ditetapkan itu. Sesuai Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22/2007 maka buku pelajaran yang dipakai di
setiap sekolah seharusnya memenuhi standar kelayakan tersebut. Khusus mengenai
keterbacaan, tentulah diharapkan kiranya wacana-wacana yang tersaji dalam buku
pelajaran selalu memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi bagi siswa yang akan
membacanya.
Berkaitan dengan itu, Klare (1984) menyatakan bahwa
bacaan yang memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi akan mempengaruhi
pembacanya. Bacaan seperti ini dapat meningkatkan minat belajar, menambah
kecepatan dan efisiensi membaca. Tidak hanya itu, bacaan yang memiliki tingkat
keterbacaan tinggi biasanya dapat memelihara kebiasaan membaca para pembacanya
karena mereka merasa dapat memahami wacana seperti itu dengan mudah.
Perlu disadari bahwa kemudahan pemahaman merupakan
ciri yang harus dipertahankan dalam sebuah karya ilmiah. Semakin ilmiah sebuah
karya tulis seharusnya pemahaman pun semakin mudah pula. Hal ini dapat
dimengerti karena keilmiahan sebuah karya tulis berhubungan erat dengan
faktor-faktor kesistematisan, kelogisan, kebahasaan, dan keteraturan dalam
berpikir. Semua faktor ini kalau terpenuhi dengan baik sebetulnya akan mengarah
kepada kemudahan pemahaman.
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Keterbacaan
Klare (1963)
menjelaskan bahwa Lorge (1949) pernah bercerita tentang upaya Talmudists pada
tahun 900 berkenaan keterbacaan wacana. Dia menentukan tingkat kesulitan wacana
berdasarkan kriteria kekerapan kata-kata yang digunakan. Meskipun kajian
tentang keterbacaan itu sudah berlangsung berabad-abad, namun kemajuannya baru
tampak setelah statistik mulai ramai digunakan. Teknik statistik itu
memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi faktor-faktor keterbacaan yang
penting-penting untuk menyusun formula yang dapat dipergunakan guna
memperkirakan tingkat kesulitan wacana. Menurut Klare (1963), kajian-kajian
terdahulu menunjukkan adanya keterkaitan
dengan keterbacaan. Gray dan Leary mengidentifikasi adanya 289 faktor yang mempengaruhi
keterbacaan, 20 faktor di antaranya dinyatakan signifikan. Untuk
mengenal sebagian dari faktor-faktor dimaksud, mari kita simak pandangan para
pakar tentang ini.
Dupuis dan Askov (1982) mengedepankan empat faktor
penentu tingkat keterbacaan sebuah wacana. Keempat faktor tersebut adalah:
1.
faktor kebahasaan dalam teks,
2.
latar belakang pengetahuan pembaca,
3.
minat pembaca, dan
4.
motivasi pembaca.
Dalam
hubungannya dengan faktor kebahasaan seperti yang diungkap Askov
tersebut, Nuttal (1989) merincinya menjadi dua faktor utama, yakni:
1.
kekomplekan ide dan bahasa yang terdapat dalam wacana,
dan
2.
jenis kata yang digunakan dalam wacana tersebut.
Baradja (1991:128) menjelaskan bahwa, faktor-faktor
yang bertanggung jawab akan adanya kesulitan dalam hal membaca suatu teks
banyak sekali. Faktor-faktor itu beliau kelompokkan menjadi dua, yaitu
kesulitan secara makro dan mikro. Pada faktor makro, Baradja menyebutnya antara
lain perbedaan latar belakang penulis dengan pembaca, termasuk di dalamnya
perbedaan pengetahuan, bahasa dan kode bahasa yang digunakan, kebudayaan
dan perbedaan asumsi. Dari segi mikro, ditulisnya antara lain
kesulitan dalam memahami ungkapan, afiksasi, kata
sambung, serta pola kalimat. Kesulitan-kesulitan dari segi mikro ini,
menurut beliau terutama dirasakan oleh orang asing yang membaca wacana
berbahasa Indonesia atau sebaliknya oleh orang Indonesia yang membaca wacana
berbahasa asing.
Harjasujana dan Mulyati (1996/1997: 107)
menegaskan bahwa penelitian yang terakhir membuktikan bahwa ada dua
faktor yang berpengaruh terhadap keterbacaan, yakni panjang pendek kalimat dan
tingkat kesulitan kata. Berikut
ini adalah uraiannya:
1.
Panjang pendeknya kalimat
Menurut Hafni (1981:22) semua formula keterbacaan
mempertimbangkan faktor panjang kalimat. Kalimat yang lebih panjang cendrung
lebih ruwet dibandingkan dengan kalimat pendek. Lebih jauh dikatakannya bahwa
panjang kalimat merupakan indeks yang mencerminkan adanya pengaruh jangka ingat
(memory span) terhadap keterbacaan. Beberapa peneliti berdasarkan
penelitian yang dilakukannya membuktikan bahwa faktor panjang kalimat ini
termasuk salah satu faktor yang menyebabkan sebuah wacana sulit dipahami
(Lihat antara lain Damaianti, 1995 dan Kurniawan, 1996). Ini berarti bawa
faktor panjang kalimat diyakini sangat berpengaruh terhadap tingkat
keterbacaan sebuah wacana.
Sehingga
dapat disimpulkan bahwa semakin panjang kalimat dan semakin panjang kata maka
bahan bacaan tersebut semakin sukar. Sebaliknya, jika kalimat dan kata-katanya
pendek-pendek, maka wacana dimaksud tergolong wacan yang mudah.
2.
Tingkat kesulitan kata
Hafni juga menegaskan bahwa semua
formula baca bertolak dari ukuran kata. Semakin sulit bacaan tersebut dimengerti, maka tingkat
keterbacaan wacana tersebut rendah. Sebaliknya, semakin mudah bacaan tersebut
dimengerti, maka tingkat keterbacaan wacana tersebut tinggi.
Pertimbangan
panjang-pendek kata dan tingkat kesulitan kata dalam pemakaian formula
keterbacaan, semata-mata hanya didasarkan pada pertimbangan struktur
permukaan teks. Struktur yang secara visual dapat dilihat. Sedangkan
konsep yang terkandung dalam bacaan sebagai struktur dalam dari
bacaan tersebut tampaknya tidak diperhatikan. Dengan kata lain, rumusan
formula-formula keterbacaan sering digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan
itu tidak memperhatikan unsur semantis.
Seperti
halnya kriteria kesulitan kalimat, kriteria kesulitan kata juga didasarkan atas
wujud (struktur) yang tampak. Jika sebuah kalimat secara visual tampak lebih
panjang, artinya kalimat tersebut tergolong sukar, sebaliknya, jika sebuah
kalimat atau kata secara visual tampak pendek, maka kalimat tersebut tergolong
mudah.
Bagaimana
dengan kriteria kesulitan kata? Apakah panjang-pendeknya sebuah kata
benar-benar dapat menjadi indikator bagi tingkat kesulitan kata yang
bersangkutan? Bila dibandingkan, kata era dan
kata zaman, maka kita akan menyetujui bahwa kata era lebih tinggi
keterbacaannya, walaupun katanya lebih pendek dibandingkan dengan kata zaman,
begitu pula sebaliknya.
Untuk meningkatkan keterbacaan,
perhatikan hal-hal berikut ini:
1.
Kejelasan
Tulisan akan
lebih mudah dipahami jika menggunakan kata-kata yang sudah umum/ dikenal.
Keterbacaan sebuah tulisan juga dipengaruhi oleh usia, pendidikan, dan
pengalaman pembaca. Misalnya, tulisan untuk kalangan mahasiswa akan terasa sulit
dipahami oleh pelajar sekolah menengah. Keterbacaan juga dipengaruhi oleh
panjang pendek kalimat yang ditulisnya, disesuaikan dengan calon pembacanya.
Buku untuk siswa sekolah dasar pendek-pendek kalimatnya. Makin tinggi
pendidikan seseorang, makin tinggi pula kemampuannya untuk memahami tulisan
dengan kalimat yang lebih panjang.
Ukuran
kejelasan atas panjang pendek kalimat dalam bahasa
Indonesia belum ada, tetapi kita dapat memakai ukuran yang diberikan oleh
Rudolf Flech dari Amerika Serikat. Flesch menyusun tabel rujukan sebagai
berikut.
Tabel
2.1
Kejelasan
Kalimat dalam Jumlah Kata
Kejelasan
|
Kata per kalimat
|
Mudah sekali
|
Kurang
dari 8
|
Mudah
|
11
|
Agak mudah
|
14
|
Baku
|
17
|
Agak sulit
|
21
|
Sulit
|
25
|
Sangat sulit
|
Lebih
dari 29
|
2.
Bangun Kalimat
Ukuran kejelasan kalimat bukan hanya
ditentukan oleh penggunaan kata dan panjang pendek kalimat, tetapi juga oleh
bangun kalimat. Bangun kalimat yang dapat memberikan nilai tambah bagi
kejelasan kalimat adalah:
a.
Kalimat susun
1) Mobil itu menabrak pohon. Mobil itu rusak.
2) Mobil itu menabrak pohon dan mobil itu rusak.
3) Mobil itu menabrak pohon sehingga rusak.
Kalimat 3 lebih mudah dipahami karena jalinan
hubungan sebab akibat yang jelas sehingga mudah diingat.
b.
Informasi lama
mendahului informasi baru
Contoh :
Rencana pembangunan
lima tahun itu tidak dengan tegas
merumuskan program penelitian lingkungan jangka
panjang.
Dalam pasal mengenai penelitian jangka panjang
rencana itu misalnya, menguraikan pengembangan teknik saja, sedangkan masalah
berjangka panjang yang penting-penting tidak disinggungkan.
c.
Informasi pendek
mendahului informasi panjang
1)
Antara lain
kami/ telah mengirim/ kantor penelitian pengembangan dan pengkajian di
Surabaya/ sebuah penganalisis gas.
2)
Bahwa kita
dewasa ini ada dalam krisis energi/ sudah jelas.
Seharusnya:
1)
Antara lain
kami/ telah mengirim/ sebuah penganalisis gas/ kepada kantor penelitian
pengembangan dan pengkajian di Surabaya.
2)
Sudah jelas/
bahwa kita dewasa ini ada dalam krisis energi.
d.
Ketaksaan ialah
adanya makna ganda dalam kalimat. Perhatikan contoh berikut ini.
1) Anak dosen yang cantik (Siapa yang cantik? Anak
dosen atau dosennya?)
2) Orang dewasa ini kurang memiliki jiwa mapalus.
(orang dewasa ini atau dewasa ini, orang?)
3) Ruang kuliah mahasiswa yang baru tidak jauh dari
sini. (Apanya yang baru? Ruangnya atau mahasiswanya.)
Untuk menghilangkan ketaksaan dapat
dilakukan dengan
1)
Memberikan tanda
hubung untuk memperjelas tali perhubungan,
2)
Dengan mengubah
bangun kalimat,
3)
Mengganti
istilah menjadi lebih jelas maknanya.
a)
Anak-dosen yang
cantik.
b)
Dewasa ini,
orang kurang memiliki jiwa mapalus.
c)
Ruang kuliah
bagi mahasiswa baru tidak jauh dari sini.
Dalam bahasa
ilmu dan teknik biasanya telah ada kesepakatan atau elaziman terhadap
istilah-istilah yang mungkin menimbulkan makna ganda.
Tabel
2.2
Contoh
Tabel Kesepakatan
Makna dalam Peristilahan Teknik
No.
|
Makna
|
Istilah
|
Keterangan
|
1.
|
Tujuan
|
Rem bahaya
|
Rem yang digunakan untuk keadaan
bahaya.
|
2.
|
Asas kerja
|
Rem angin
|
Rem yang bekerja berdasarkan
kemampatan udara (angin).
|
3
|
Bahan
|
Rem baja karbon
|
Rem yang dibuat dari baja karbon
|
4.
|
Cara
|
Rem tangan
|
Rem yang dijalankan dengan tangan
|
5.
|
Raut
|
Rem cakram
|
Rem yang bagian utamanya berautcakram.
|
6.
|
Ukuran
|
Rem dua puluh senti
|
Rem yang diameternya dua puluh senti
|
7.
|
Fungsi
|
Rem depan
|
Rem untuk menghentikan roda depan.
|
8.
|
Nama Pencipta
|
Rem ghirling
|
Rem yang diciptakan oleh perusahaan
Ghirling
|
9.
|
Acuan pembatas
|
Rem mobil
|
Rem pada mobil
|
D.
PerhitunganKeterbacaan
dengan Grafik Fry
Harjasujana dan Yeti Mulyati (1997:135)
mengemukakan bahwa, dari sekian banyak formula keterbacaan yang diperkenlakan
orang, grafik Fry dan grafik Raygor merupakan dua alat yang dipandang praktis
dan mudah menggunakannya. Namun karena alat tersebut diciptakan untuk mengukur
wacana bahasa Inggris, maka pemakainnya untuk wacana bahasa Indonesia harus
disesuikan.
Harjasujana dan Yeti Mulyati (1995:85)
lebih jauh mengemukakan bahwa Banyak rumus yang dapat digunakan guru untuk
menentukan tingkat keterbacaan suatu wacana. Penggunaan haus keterbacaan
tersebut dapat dilakukan guru untuk memudahkan dalam mempersiapkan atau
mengubah bahan bacaan dengan jalan meninggikan atau menurunkan tingkat
keterbacaan antar lain gtrarik fry. Grafik fry merupakan hasil upaya untuk
menyederhanakan dan pengefisienan teknik penentuan tingkat keterbacaan.
Edward Fry
memperkenalkan formula keterbacaan yang disebut dengan grafik fry. Grafik Fry
pertama kali dipublikasikan di majalah “journal of reading” pada tahun 1977,
dan grafik yang asli dibuat pada tahun 1968. Formula keterbacaan dalam grafik
ini berdasarkan dua faktor, yaitu panjang pendek kata dan tingkat kesulitan
kata yang ditandai oleh jumlah (banyak-sedikitnya) suku kata yang membentuk
setiap kata dalam wacana tersebut (Muchlisoh, 1996:170).
Kelebihan grafik fry sebagaimana
dijelaskan oleh Fry (Spadero dalam Bastable, 2002: 174) adalah memiliki
kesederhanaan penggunaan tanpa harus mengorbankan keakuratan dan keluasan serta
panjangnya jangkauan untuk menguji keterbacaan materi (terutama buku, pamphlet,
dan brosur) pada tingkat kelas satu sampai perguruan tinggi.
Gambar 2.1 Grafik Fry
Dari grafik di atas, dapat
dijelaskan beberapa hal. di bagian bawah grafik terdapat deretan
angka 108, 112, 116, 120 dan seterusnya. Angka-angka tersebut menunjukkan data
rata-rata jumlah suku kata per seratus perkataan. Semakin banyak jumlah suku
kata pada per seratus perkataan, semakin sulit wacana tersebut dan sebaliknya.
Angka-angka yang tertera di
bagian samping kiri grafik terdapat deretan angka 2.0, 2.5, 16.7, dan
seterusnya. Angka-angka tersebut menunjukkan data rata-rata jumlah kalimat per
seratus perkataan. Hal ini menunjukkan faktor panjang pendek kalimat.
Angka-angka
yang berderet di bagian tengah grafik dan berada di antara garis-garis penyekat
dari grafik tersebut menunjukkan perkiraan peringkat keterbacaan wacana yang
diukur. Angka 1 menunjukkan peringkat 1, artinya wacana tersebut cocok untuk
pembaca dengan level peringkat baca 1; angka 2 untuk peringkat baca 2, angka 3
untuk peringkat baca 3, dan seterusnya hingga pada peringkat universitas.
Daerah yang diarsir pada grafik
yang terletak di sudut kanan atas dan sudut kiri bawah merupakan daerah
invalid. Artinya, apabila hasil analisis keterbacaan se-buah wacana jatuh pada
wilayah yang diarsir, maka wacana tersebut tidak valid sebagai bacaan yang
ditawarkan pada pembaca.Oleh karena itu,
wacana yang demikian sebaiknya tidak digunakan dan diganti dengah wacana lain.
Alasan
digunakannya 100 perkataan karena angka tersebut merupakan jumlah kata yang
dianggap sebagai jumlah yang representatif untuk mewakili sebuah wacana.
Meskipun yang akan diukur keterbacaannya itu berupa buku yang tebalnya lebih
kurang 500 halaman, pada saat dilakukan pengukuran keterbacaan, kita tidak perlu
mengukur seluruh buku tersebut sejak halaman pertama hingga halaman terakhir
buku itu. Kita cukup mengambil sampel dari bacaan tersebut sebanyak 100
perkataan. Memang, terdapat ketentuan khusus untuk pengukuran keterbacaan
bahan-bahan bacaan yang relatif tebal seperti halnya buku; yakni pengukuran
keterbacaan wacana itu harus dilakukan sebanyak tiga kali dengan sampel wacana
yang berbeda-beda. Sampel pertama mungkin diambil dari halamanhalaman awal
sebuah buku; sampel kedua dari bagian tengah buku; dan sampel terakhir dari
halaman-halaman akhir buku itu.
Adapun petunjuk penggunaan grafik
fry adalah sebagai beikut.
1.
Pilihlah
penggalan yang representatif dari wacana yang hendak diukur tingkat
keterbacaannya dengan mengambil 100 buah kata dari wacana yang hendak diukur
keterbacannya. Yang dimaksud dengan kata dalam hal ini adalah sekelompok
lambang yang dikiri dan dikanannya berpembatas. Dengan demikian lambang-lambang
berikut, seperti, Fatimah, IKIP, 1999, dan = masing-masing dianggap sebagai satu
perkataan.
2.
Hitunglah
jumlah kalimat dari 100 kata tersebut hingga perpuluhan terdekat. Maksudnya
jika kata yang termasuk dalam hitungan seratus buah perkataan (sampel wacana)
tidak jatuh di ujung kalimat, maka perhitungan kalimat tidak akan selalu utuh
malainkan selalu akan ada sisa. Sisanya itu tentu adalah sejumlah kata yang
merupakan bagian dari deretan kata-kata yang membentuk kalimat utuh. Karena
keharusan pengambilan sampel wacana berpatokan pada angka 100, maka sisa kata
yang termasuk dalam hitungan seratus itu diperhitungkan dalam bentuk desimal
(per puluhan).
3.
Hitunglah
jumlah suku kata dari wacana sampel yang 100 buah kata tadi. Sebagai
konsekuensi dari batasan kata (seperti dijelaskan pada langkah 1) di atas yang
memasukkan angka singkatan sebagai kata, maka untuk kata dan singkatan,
setiap lambang diperhitungkan sebagai satu suku kata. Misal, 234, terdiri atas
tiga suku kata, IKIP terdiri atas empat suku kata.
4.
Perhatikan
grafik fry. Kolom tegak lurus menunjukkan jumlah suku kata per saratus kata dan
baris mendatar menunjukkan jumlah kalimat per seratus kata. Pertemuan garis
vertikal (jumlah suku kata) dan garis horizontal (jumlah kalimat) menunjukkan
tingkat-tingkat kelas pembaca yang diperkirakan mampu membaca wacana yang
terpilih. Jika persilangan garis vertikal dan horizontal itu berada pada daerah
gelap, maka wacana tersebut dinyatakan tidak absah. Guru harus memilih wacana
lain dan mengulangi langkah-langkah yang sama.
5.
Tingkat
keterbacaan ini bersifat perkiraan. Penyimpangan mungkin terjadi, baik ke atas
maupun ke bawah. Oleh karena itu, peringkat keterbacaan wacana hendaknya
ditambah satu tingkat dan dikurangi satu tingkat. Sebagai contoh, jika titik
pertemuan dari persilangan garis horizontal untuk data jumlah kalimat dan
vertikal untuk data jumlah suku kata jatuh ke wilayah 6, maka peringkat wacana
yang diukur tersebut harus diperkirakan tingkat keterbacaan yang cocok untuk
peringkat 5, yakni (6-1) dan 7, yakni (6+1) (Hardjasujana, 1996:132—137).
Grafik fry pada dasarnya merupakan hasil penelitian terhadap
wacana bahasa Inggris. Hardjasujana menambahkan satu langkah lagi apabila ingin
menggunakan grafik fry untuk mengukur keterbacaan wacana bahasa Indonesia,
yakni mengalikan hasil perhitungan suku kata dengan angka 0,6. Angka ini diperoleh
dari hasil penelitian (sederhana) yang memperoleh bukti bahwa perbandingan
antara jumlah suku kata bahasa Inggris dengan jumlah suku kata bahasa Indonesia
itu 6:10 (6 suku kata dalam bahasa Inggris kira-kira sama dengan 10 suku kata
dalam bahasa Indonesia).
Untuk menentukan tingkat keterbacaan yang jumlah katanya kurang
dari seratus kata, para ahli telah menemukan jalan pemecahan yang sederhana.
Pemecahannya adalah dengan cara melakukan penyesuaian terhadap prosedur
penggunaan grafik fry dengan mengajukan daftar grafik fry. Prosedur yang
disarankan ialah dengan menempuh langkah-langkah sebagai berikut.
1.
Hitunglah
jumlah kata dalam wacana yang akan diukur tingkat keterbacaannya itu dan
bulatkan pada bilangan per sepuluh yang terdekat.
2.
Hitunglah
jumlah kata dan kalimat yang ada dalam wacana tersebut.
3.
Selanjutnya
perbanyak jumlah kalimat dan suku kata dengan angka-angka yang ada dalam daftar
konversi seperti yang tampak di bawah ini.
Tabel 2.3
Konversi untuk Grafik Fry
|
4.
Dengan demikian Grafik Fry
dapat digunakan lagi menurut ketentuan yang berlaku.Berikut ini adalah contoh penggunaan grafik fry dengan mengkonversikan
jumlah kata.
Jika
jumlah kata dalam wacana itu berjumlah:perbanyaklah jumlah suku-kata dan
kalimat dengan bilangan berikut:303,3402,5502,0601,67701,43801,25901,1 Mari
kita perhatikan contohnya.
Dalam
contoh di bawah ini, kita umpamakan setiap tanda garis putus menunjukkan
suku kata dan kemlompok tanda garis putus-putus tersebut kita umpamakan
sebagai kata yang terdapat dalam sebuah wacana.
Selanjutnya,
coba anda tentukan tingkat keterbacaan wacana tersebut! Cocok untuk kelas
berapakah wacana tersebut?
Jumlah 60 Jika kita
ingin menentukan tingkat keterbacaan wacana (contoh) di atas, maka akan
kita dapati data berikut ini.
1.
Jumlah kata
dalam wacana tersebut ada 34 buah, pada daftar konversi diklasifikasikan ke
dalam golongan angka 30.
2.
Jumlah
kalimatnya ada 2 buah.
3.
Jumlah suku
katanya ada 60 suku kata.
4.
Angka
konversi untuk perbanyakan jumlah kalimat dan jumlah suku kata untuk jumlah
kata 30 adalah 3.3.
Dengan demikian jumlah kalimat dan
jumlah suku kata hasil konversi menjadi:
a.
Jumlah
kalimat : 2 x 3.3 = 6.6
b.
Jumlah suku
kata: 60 x 3.3 = 198
5.
Setelah
diplotkan ke dalam Grafik Fry, titik temu dari persilangan data kalimat
(6.6) dengan data suku kata (198) itu jatuh pada wilayah universitas.
Artinya tingkat keterbacaan wacana tersebut, cocok untuk peringkat
universitas.
|
Beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam penggunaan grafik fry adalah sebagai berikut.
1.
Untuk mengukur tingkat keterbacaan
sebuah buku, maka hendaknya dilakukan pengukuran sebanyak 3 kali percobaan
dengan pemilihan sampel dari wacana bagian awal buku, bagian tengah buku, dan
bagian akhir buku. Kemudian hitung hasil rata-ratanya.
2.
Grafik Fry merupakan penelitian untuk
wacana bahasa Inggris. Seperti kita ketahui, struktur bahasa Inggris sangat
berbeda dengan struktur bahasa Indonesia, terutama dalam hal sistem suku
katanya. Untuk memperoleh gambaran mengenai hal ini, mari kita perhatikan
contoh sederhana berikut.
a.
I
go to school.
b.
Saya pergi ke sekolah.
Pada
contoh kalimat a (bahasa Inggris) kita dapati 4 suku kata; sedangkan dalam
kalimat b (bahasa Indonesia) kita dapati 8 suku kata. Dalam bahasa Inggris,
pada umumnya sering kita jumpai kata-kata yang bersuku tunggal. Coba saja kita
periksa kosakata nama diri dalam bahasa Inggris, misalnya: hand, foot, leg, lip, mouth, tooth, head, hair dan seterusnya;
kemudian mari kita bandingkan dengan kosakata berikut: tangan, kaki, bibir,
mulut, gigi, kepala, rambut. Berdasarkan contoh-contoh berikut, kita
berkesimpulan bahewa sistem pola suku kata dalam bahasa Indonesia pada umumnya
mempunyai ciri dwisuku atau bahkan lebih. Keadaan ini sangat berbeda dengan
sistem persukukataan dalam bahasa Inggris. Dari 100 buah perkataan dalam bahasa
Indonesia, pada umumnya akan diperoleh jumlah suku kata di atas 200-an.
Berdasarkan kenyataan tersebut, dapatlah dipastikan bahwa berdasarkan Grafik
Fry tidak akan pernah didapati wacana bahasa Indonesia yang cocok untuk
peringkatperingkat kelas rendah, seperti kelas 1 dan 2, sebab titik pertemuan
antara garis yang menunjukkan rata-rata jumlah kalimat dan rata-rata jumlah
suku kata akan selalu jatuh pada daerah yang diarsir.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Keterbacaan
merupakan alih bahasa dari “Readability”
yang merupakan turunan dari “Readable”,artinya
dapat dibaca atau terbaca. Keterbacaan berkaitan dengan kemudahan suatu teks
untuk dibaca. Suatu teks dikatakan berketerbacaan tinggi apabila mudah
dipahami. Sebaliknya, teks dikatakan berketerbacaan rendah apabila sulit dipahami. tingkat
keterebacaan dapat diartikan sebagai tingkat kesulitan atau kemudahan wacana. Tingkat
keterbacaan biasanya dinyatakan dalam bentuk peringkat kelas. Oleh karena itu,
setelah melakukan pengukuran keterbacaan sebuah wacana, seorang guru akan dapat
mengetahui kecocokan materi bacaan tersebut yang dapat digunakan untuk
peringkat kelas tertentu. Faktor
yang paling utama mempengaruhi keterbacaan ada dua hal, yakni panjang pendeknya
kalimat dan tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh jumlah huruf dan
penyataan yang membentuknya.
BSNP telah menetapkan “keterbacaan” sebagai salah satu
dari lima aspek yang dijadikan standar penilaian buku pelajaran yang baik. Ini
menandakan bahwa faktor keterbacaan wacana harus menjadi perhatian utama dalam
penulisan wacana, terutama untuk bahan ajar dan buku pelajaran. Kita menyadari
bahwa buku pelajaran adalah media pembelajaran yang dominan peranannya di
kelas. Oleh karena itu, buku pelajaran harus dirancang dengan baik dan benar
dengan memperhatikan kelima standar yang ditetapkan itu. Sesuai Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22/2007 maka buku pelajaran yang dipakai di
setiap sekolah seharusnya memenuhi standar kelayakan tersebut.
Harjasujana dan Mulyati (1996/1997: 107)
menegaskan bahwa penelitian yang terakhir membuktikan bahwa ada dua
faktor yang berpengaruh terhadap keterbacaan, yakni:
1.
Panjang
pendeknya kalimat. Semakin
panjang kalimat dan semakin panjang kata maka bahan bacaan tersebut semakin
sukar. Sebaliknya, jika kalimat dan kata-katanya pendek-pendek, maka wacana
dimaksud tergolong wacan yang mudah.
2.
Tingkat kesulitan kata. Hafni juga
menegaskan bahwa semua formula baca bertolak dari ukuran kata. Semakin sulit bacaan tersebut
dimengerti, maka tingkat keterbacaan wacana tersebut rendah. Sebaliknya,
semakin mudah bacaan tersebut dimengerti, maka tingkat keterbacaan wacana
tersebut tinggi.
Grafik Fry pertama kali
dipublikasikan di majalah “journal of reading” pada tahun 1977, dan grafik yang
asli dibuat pada tahun 1968. Formula keterbacaan dalam grafik ini berdasarkan
dua faktor, yaitu panjang pendek kata dan tingkat kesulitan kata yang ditandai
oleh jumlah (banyak-sedikitnya) suku kata yang membentuk setiap kata dalam
wacana tersebut (Muchlisoh, 1996:170).
B.
Saran
Berdasarkan
penjelasan tentang manajamen sekolah, penulis memberikan saran bagi
pelaksana/guru yaitu:
1. Hendaknya para
guru memiliki kemampuan untuk mengukur keterbacaan pada sebuah teks bacaan yang akan disajikan kepada siswa.
Hal ini bertujuan agar materi yang diberikan oleh guru dapat sesuai dengan
tingkat keterbacaannya.
2. Guru bahasa Indonesia juga sebaiknya dapat
meningkatkan kemampaun membaca siswa denganteknik baca yang cepat. Dalam melaksanakan pembelajaran membaca
hendaknya guru mengetahui benar teori-teori membaca.
3.
Untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran membaca ataupun pembelajaran lainnya hendaknya guru dapat
melaksanakn pemebelajaran dengan model penelitian tindakan kelas.
DAFTAR
PUSTAKA
Abidin,
Yunus. 2010. Strategi Membaca Teori dan Pembelajaran.
Bandung: Rizqy Press.
Andriana,
Winda. 2012. Analisis Keterbacaan Teks
Buku Pelajaran Kelas III SD: Studi Kasus Untuk Teks Bahasa Indonesia, IPA dan
IPS. [online]. Tersedia: http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20323993-S43507-Analisis%20keterbacaan.pdf.
[16 Oktober 2016].
Dwipratama,
F. A. 2013. Keterbacaan Makalah. [online]. Tersedia: https://www.academia.edu/5355254/KETERBACAAN_MAKALAH.
[18Oktober
2016].
Harras,
K. A. 2012. Bahan Ajar dan Keterbacaan.
[online]. Tersedia: http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA/196401221989031-KHOLID_ABDULLAH_HARRAS/Bahan2_Kuliah/Presentasi/BAHAN_AJAR_DAN_KETERBACAAN.pdf.
[18 Oktober 2016].
Rahayu,
Minto. 2007. Bahasa Indonesia Perguruan
Tinggi. Jakarta: PT. Grasindo.
Sitepu,
B. P. 2010. Keterbacaan. [online].
Tersedia: https://bintangsitepu.wordpress.com/2010/09/11/keterbacaan/.
[16 Oktober 2016].
Sulastri,
Isna. 2010. Keterbacaan Wacana dan Teknik Pengukurannya. [online]. Tersedia: https://uniisna.wordpress.com/2010/12/31/keterbacaan-wacana-dan-teknik-pengukurannya-2/.
[16 Oktober 2016].
Syarofah,
Binti. 2012. Perbandingan Tingkat
Keterbacaan BSE dan Non BSE Bahasa Indonesia untuk Kelas X SMA Negeri di Kota
Yogyakarta. [online]. Tersedia:
http://eprints.uny.ac.id/25264/1/Binti%20Syarofah%2008201241014.pdf. [25
Oktober 2016].
No comments:
Post a Comment