Makalah Keterbacaan


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Salawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada nabi kita Muhammad SAW.
Penyusunan makalah ini ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Membaca dan Menulis di SD. Di dalam makalah ini membahas tentang “Keterbacaan” yang menguraikan mengenaipengertian keterbacaan, pentingnya keterbacaan, faktor keterbacaan dan perhitungan keterbacaan dengan grafik fry.
Terima kasih penulis sampaikan kepada :
1.      Nurma Herlinah, M.Pd selaku Dosen Pengampu mata kuliahMembaca dan Menulis di SD,
2.      Teman-teman kelas SD13-A2 yang telah memberikan kontribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan makalah ini,
3.      Kedua orang tua dan segenap keluarga besar penulis yang telah memberikan dukungan maupun do’a sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Penyusun makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan supaya kami bisa lebih baik lagi untuk kedepannya. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi kami dan umumnya bagi kita semua.
                                                                                                           
        Cirebon, Oktober 2016

                                                                                                                                                            Penulis






DAFTAR ISI
                                                          
KATA PENGANTAR ....................................................................................       i
DAFTAR ISI ..................................................................................................                      ii

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah .......................................................................        1       
B.     Rumusan Masalah ................................................................................        2
C.     Tujuan ..................................................................................................        2
D.    Metodelogi penulisan ............... ............................................................        2
E.     Sistematika Penulisan ...........................................................................        3
BAB II PEMBAHASAN                                                                               
A.    Pengertian Keterbacaan .......................................................................        4
B.     Pentingnya Keterbacaan ......................................................................        5
C.     Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterbacaan.................................        7
D.    Perhitungan Keterbacaan dengan Grafik Fry......................................       13
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan ..........................................................................................      20
B.     Saran .....................................................................................................     21

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................                    22


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Penyusunan bacaan untuk anak tentu berbeda dari bacaan untuk orang dewasa. Satu hal yang penting diperhatikan ketika menghadapi anak-anak kesederhanaan. Masa anak-anak adalah masa awal perkembangan untuk banyak hal sehingga sesuatu yang kompleks belum mampu diserap. Oleh karena itu, bacaan bagi anak haruslah bersifat  sederhana.
Dunia anak jelas berbeda dengan dunia orang dewasa.hal ini adalah kesulitan utama dalam penyusunan teks untuk anak. Banyak aspek yang harus diperhatikan. Adapun aspek terpenting dalam penyusunan teks anak ini diantaranya adalah bahasa dan ruang lingkup daya tangkap anak-anak (Liotohe, 1991: 14).
Salah satu teks anak yang penting untuk diperhatikan dan ditinjau adalah teks pada buku paket sekolah atau buku teks sekolah. Buku teks sekolah memiliki peran yang penting dalam kegiatan belajar –mengajar di kelas. Buku teks berfungsi sebagai sumber informasi dan sarana peununjang kegiatan belajar-mengajar (Indrawati, 2001: 134). Fungsi tersebut mengindikasikan bahwa teks dalam buku pelajaran jangan sampai dianggap sulit oleh siswa karena akan membatasi informasi yang didapat dan tujuan kegiatan belajar mengajar tidak akan tercapai. Bacon (dalam Indrawati, 2001:134) menyatakan selain harus dibuat oleh para pakar, buku teks juga harus disertai dengan sarana belajar yang sesuai dan serasi.
Memilih sebuah bacaan yang pantas untuk dikonsumsi oleh anak merupakan tugas utama seorang guru. Untuk itu, kita harus mampu memilah dan memilih bacaan yang sesuai. Bahan bacaan tidak hanya berasal dari buku paket saja, melainkan dari Koran, majalah, pamphlet-pamflet, dan lain sebagainya. Lalu bagaimana kita menyortir bacaan yang tepat untuk di konsumsi oleh anak? Seberapa jauh peran guru dalam memilih bahan bacaan yang layak untuk mereka?
Semua pertanyaan tersebut akan dibahas dalam makalah yang mengambil topik tentang keterbacaan. Keterbacaan merupakan istilah dalam bidang pengajaran membaca yang memperhatikan tingkat kesulitan materi yang sepantasnya dibaca seseorang. Keterbacaan merupakan ukuran tentang sesuai atau tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu bagi peringkat pembaca tertentu. Makalah ini akan membahas mengenai pengertian keterbacaan, pentingnya keterbacaan, faktor-faktor yang mempengaruhi keterbacaan, dan perhitungan keterbacaan dengan grafik fry dengan tepat.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1.         Apa itu keterbacaan?
2.         Seberapa penting keterbacaan itu?
3.         Apa saja faktor keterbacaan?
4.         Bagaimana perhitungan keterbacaan dengan grafik fry?

C.      Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuannya adalah untuk :
1.         Mengetahui pengertian keterbacaan.
2.         Mengetahui pentingnya keterbacaan
3.         Mengetahui faktor-faktor keterbacaan.
4.         Mengetahui perhitungan keterbacaan dengan grafik fry.

D.      Metodelogi Penulisan
Pada penelitian ini digunakan metode deskriptif, merupakan suatu metode yang memusatkan pada pemecahan yang aktual. Data dikumpulkan dari berbagai literatur, kemudian disusun, di analisis serta dijelaskan dan selanjutnya disimpulkan.


E.       Sistematika Penulisan
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
B.       Rumusan Masalah
C.       Tujuan Penulisan
D.       Metodelogi Penulisan
E.        Sistematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A.        Pengertian Keterbacaan
B.       Pentingnya Keterbacaan
C.       Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterbacaan
D.       Perhitungan Keterbacaan dengan Grafik Fry
BAB III PENUTUP
A.       Kesimpulan
B.       Saran
Daftar Pustaka













BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Keterbacaan
Keterbacaan merupakan alih bahasa dari “Readability” yang merupakan turunan dari “Readable”,artinya dapat dibaca atau terbaca. Keterbacaan berkaitan dengan kemudahan suatu teks untuk dibaca. Suatu teks dikatakan berketerbacaan tinggi apabila mudah dipahami. Sebaliknya, teks dikatakan berketerbacaan  rendah apabila sulit dipahami.
Keterbacaan adalah hal atau ihwal terbaca-tidaknya suatu bahan bacaan tertentu oleh pembacanya. Keterbacaan mempersoalkan tingkat kesulitan atau tigkat kemudahan suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu. Keterbacaan merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesulitan atau kemudahan wacananya. Untuk memperkirakan tingkat keterbacaan bahan bacaan, banyak dipergunakan orang berbagai formula keterbacaan. Tingkat keterbacaan biasanya dinyatakan dalam bentuk peringkat kelas. Setelah melakukan pengukuran keterbacaan sebuah wacana, orang akan dapat mengetahui kecocokan materi bacaan tersebut untuk peringkat kelas tertentu.
Harjasujana dan Yeti Mulyati (1997:106) mengemukakan bahwa,
Keterbacaan merupakan istilah dalam bidang pengajaran membaca yang memperhatikan tingkat kesulitan materi yang sepantasnya dibaca seseorang. Keterbacaan merupakan alih bahasa dari redabality. Jadi, keterbacaan ini mempersolakan tingkat kesulitan atau tingkat kemudahan suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu. Keterbacaan (redability merupakan ukuran sesuai tidaknya suatu bahan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran atau kemudahan wacananya.
Klare (dalam Ginting, 1997:56) menyatakan terbacanya suatu  teks mengacu pada tiga hal: topografi, minat terhadap nilai yang terkandung dalam tulisan, dan gaya tulisan. Hal tersebut sedikit berbeda dengan pendapat Sakri yang menyatakan keterbacaan adalah menyangkut ketedasan dan kejelahan. Ketedahan adalah sisi keterbacaan yang dilihat berdasarkan unsur-unsur kebahasaan seperti diksi, bangun kalimat, atau susunan paragraph. Adapun kejelahan merupakan sisi keterbacaan yang ditentukan berdasarkan tata huruf seperti besar huruf, kerapatan baris, dan unsur tatarupa lainnya (Sakri, 1994: 165-166). Dari dua pendapat di atas, pendapat Klare lebih lengkap karena Sakri tidak memasukkan minat pembaca sebagai salah satu faktor penentu tingkat keterbacaan.
Keterbacaan merupakan padanan redability dalam bahasa Inggris. Istilah ini diartikan Harjasujana, dkk. (1999:10) yaitu:
1.         Kemudahan tipografi atau tulisan tangan,
2.         Kemudahan membaca yang disebabkan oleh daya tarik bahan bacaan dan tingkat minat baca atau,
3.         Kemudahan memahami bahan bacaan yang disebabkan kecerdasan bahasanya.
Dari uraian di atas penulis dapat simpulkan bahwa tingkat keterebacaan dapat diartikan sebagai tingkat kesulitan atau kemudahan wacana.Tingkat keterbacaan biasanya dinyatakan dalam bentuk peringkat kelas. Oleh karena itu, setelah melakukan pengukuran keterbacaan sebuah wacana, seorang guru akan dapat mengetahui kecocokan materi bacaan tersebut yang dapat digunakan untuk peringkat kelas tertentu. Faktor yang paling utama mempengaruhi keterbacaan ada dua hal, yakni panjang pendeknya kalimat dan tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh jumlah huruf dan penyataan yang membentuknya.

B.       Pentingnya Keterbacaan
Sebuah bacaan (buku teks) yang memiliki tingkat keterbacaan tinggi akan mempengaruhi pembacanya. Menurut Klare (dalam Sulastri, 2011: 3) bacaan yang tingkat keterbacaannya tinggi dapat meningkatkan minat belajar, menambah kecepatan dan efisiensi membaca. Selain itu juga dapat memelihara kebiasaan membaca para pembacanya karena mereka merasa dapat memahami wacananya dengan mudah. Oleh sebab itu, mengetahui tingkat keterbacaan wacana khususnya buku teks pelajaran Bahasa Indonesia memang diperlukan karena banyak manfaat yang didapat dari informasi tingkat keterbacaan buku tersebut.
Keterbacaan buku teks khususnya buku teks Bahasa Indonesia perlu diketahui agar seorang guru dapat memilih buku teks yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswanya. Jika tingkat keterbacaan sebuah buku teks sudah diketahui, maka kegiatan belajar mengajar dapat berjalan lebih lancar dengan bantuan buku ajar yang dapat dipahami dengan mudah oleh siswa. Siswa dapat memahami materi yang ada di buku dengan ataupun tanpa bimbingan dari guru mata pelajaran.
BSNP telah menetapkan “keterbacaan” sebagai salah satu dari lima aspek yang dijadikan standar penilaian buku pelajaran yang baik. Ini menandakan bahwa faktor keterbacaan wacana harus menjadi perhatian utama dalam penulisan wacana, terutama untuk bahan ajar dan buku pelajaran. Kita menyadari bahwa buku pelajaran adalah media pembelajaran yang dominan peranannya di kelas. Oleh karena itu, buku pelajaran harus dirancang dengan baik dan benar dengan memperhatikan kelima standar yang ditetapkan itu. Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22/2007 maka buku pelajaran yang dipakai di setiap sekolah seharusnya memenuhi standar kelayakan tersebut. Khusus mengenai keterbacaan, tentulah diharapkan kiranya wacana-wacana yang tersaji dalam buku pelajaran selalu memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi bagi siswa yang akan membacanya.
Berkaitan dengan itu, Klare (1984) menyatakan bahwa bacaan yang memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi akan mempengaruhi pembacanya. Bacaan seperti ini dapat meningkatkan minat belajar, menambah kecepatan dan efisiensi membaca. Tidak hanya itu, bacaan yang memiliki tingkat keterbacaan tinggi biasanya dapat memelihara kebiasaan membaca para pembacanya karena mereka merasa dapat memahami wacana seperti itu dengan mudah.

Perlu disadari bahwa kemudahan pemahaman merupakan ciri yang harus dipertahankan dalam sebuah karya ilmiah. Semakin ilmiah sebuah karya tulis seharusnya pemahaman pun semakin mudah pula. Hal ini dapat dimengerti karena keilmiahan sebuah karya tulis berhubungan erat dengan faktor-faktor kesistematisan, kelogisan, kebahasaan, dan keteraturan dalam berpikir. Semua faktor ini kalau terpenuhi dengan baik sebetulnya akan mengarah kepada kemudahan pemahaman.

C.      Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterbacaan
Klare (1963) menjelaskan bahwa Lorge (1949) pernah bercerita tentang upaya Talmudists pada tahun 900 berkenaan keterbacaan wacana. Dia menentukan tingkat kesulitan wacana berdasarkan kriteria kekerapan kata-kata yang digunakan. Meskipun kajian tentang keterbacaan itu sudah berlangsung berabad-abad, namun kemajuannya baru tampak setelah statistik mulai ramai digunakan. Teknik statistik itu memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi faktor-faktor keterbacaan yang penting-penting untuk menyusun formula yang dapat dipergunakan guna memperkirakan tingkat kesulitan wacana. Menurut Klare (1963), kajian-kajian terdahulu menunjukkan adanya  keterkaitan dengan keterbacaan. Gray dan Leary mengidentifikasi adanya 289 faktor yang mempengaruhi keterbacaan, 20 faktor di antaranya dinyatakan signifikan. Untuk mengenal sebagian dari faktor-faktor dimaksud, mari kita simak pandangan para pakar tentang ini.
Dupuis dan Askov (1982) mengedepankan empat faktor penentu tingkat keterbacaan sebuah wacana. Keempat faktor tersebut adalah:
1.         faktor kebahasaan  dalam  teks,
2.         latar  belakang  pengetahuan  pembaca,
3.         minat pembaca,  dan
4.         motivasi pembaca. 
Dalam hubungannya dengan faktor kebahasaan  seperti  yang diungkap Askov tersebut,  Nuttal (1989) merincinya menjadi dua faktor utama, yakni:
1.        kekomplekan ide dan bahasa yang terdapat dalam wacana, dan
2.        jenis kata yang  digunakan dalam wacana tersebut.
Baradja (1991:128) menjelaskan bahwa, faktor-faktor yang bertanggung jawab akan adanya kesulitan dalam hal membaca suatu teks banyak sekali.  Faktor-faktor itu beliau kelompokkan menjadi dua, yaitu kesulitan secara makro dan mikro. Pada faktor makro, Baradja menyebutnya antara lain perbedaan latar belakang penulis dengan pembaca, termasuk di dalamnya perbedaan pengetahuan, bahasa dan kode bahasa yang digunakan, kebudayaan dan  perbedaan asumsi. Dari segi mikro, ditulisnya antara lain  kesulitan dalam memahami ungkapan,  afiksasi,  kata  sambung,  serta pola kalimat. Kesulitan-kesulitan dari segi mikro ini, menurut beliau terutama dirasakan oleh orang asing yang membaca wacana berbahasa Indonesia atau sebaliknya oleh orang Indonesia yang membaca wacana berbahasa asing.
Harjasujana dan Mulyati  (1996/1997: 107)  menegaskan bahwa  penelitian yang terakhir membuktikan bahwa ada dua faktor yang berpengaruh terhadap keterbacaan, yakni panjang pendek kalimat dan tingkat kesulitan kata.  Berikut ini adalah uraiannya:
1.         Panjang pendeknya kalimat
Menurut Hafni (1981:22) semua formula keterbacaan mempertimbangkan faktor panjang kalimat. Kalimat yang lebih panjang cendrung lebih ruwet dibandingkan dengan kalimat pendek. Lebih jauh dikatakannya bahwa panjang kalimat merupakan indeks yang mencerminkan adanya pengaruh jangka ingat (memory span) terhadap keterbacaan. Beberapa peneliti berdasarkan penelitian yang dilakukannya membuktikan bahwa faktor panjang kalimat ini termasuk salah satu faktor yang menyebabkan sebuah  wacana sulit dipahami (Lihat antara lain Damaianti, 1995 dan Kurniawan, 1996). Ini berarti bawa faktor panjang kalimat diyakini sangat berpengaruh terhadap tingkat keterbacaan  sebuah wacana.


Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin panjang kalimat dan semakin panjang kata maka bahan bacaan tersebut semakin sukar. Sebaliknya, jika kalimat dan kata-katanya pendek-pendek, maka wacana dimaksud tergolong wacan yang mudah.
2.         Tingkat kesulitan kata
Hafni juga menegaskan bahwa semua formula baca bertolak dari ukuran kata. Semakin sulit bacaan tersebut dimengerti, maka tingkat keterbacaan wacana tersebut rendah. Sebaliknya, semakin mudah bacaan tersebut dimengerti, maka tingkat keterbacaan wacana tersebut tinggi.
Pertimbangan panjang-pendek kata dan tingkat kesulitan kata dalam pemakaian formula keterbacaan, semata-mata hanya didasarkan pada pertimbangan struktur permukaan teks. Struktur yang secara visual dapat dilihat. Sedangkan konsep yang terkandung dalam bacaan sebagai struktur dalam dari bacaan tersebut tampaknya tidak diperhatikan. Dengan kata lain, rumusan formula-formula keterbacaan sering digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan itu tidak memperhatikan unsur semantis.
Seperti halnya kriteria kesulitan kalimat, kriteria kesulitan kata juga didasarkan atas wujud (struktur) yang tampak. Jika sebuah kalimat secara visual tampak lebih panjang, artinya kalimat tersebut tergolong sukar, sebaliknya, jika sebuah kalimat atau kata secara visual tampak pendek, maka kalimat tersebut tergolong mudah.
Bagaimana dengan kriteria kesulitan kata? Apakah panjang-pendeknya sebuah kata benar-benar dapat menjadi indikator bagi tingkat kesulitan kata yang bersangkutan? Bila dibandingkan, kata era dan kata zaman, maka kita akan menyetujui bahwa kata era lebih tinggi keterbacaannya, walaupun katanya lebih pendek dibandingkan dengan kata zaman, begitu pula sebaliknya.
Untuk meningkatkan keterbacaan, perhatikan hal-hal berikut ini:
1.         Kejelasan
Tulisan akan lebih mudah dipahami jika menggunakan kata-kata yang sudah umum/ dikenal. Keterbacaan sebuah tulisan juga dipengaruhi oleh usia, pendidikan, dan pengalaman pembaca. Misalnya, tulisan untuk kalangan mahasiswa akan terasa sulit dipahami oleh pelajar sekolah menengah. Keterbacaan juga dipengaruhi oleh panjang pendek kalimat yang ditulisnya, disesuaikan dengan calon pembacanya. Buku untuk siswa sekolah dasar pendek-pendek kalimatnya. Makin tinggi pendidikan seseorang, makin tinggi pula kemampuannya untuk memahami tulisan dengan kalimat yang lebih panjang.
            Ukuran kejelasan atas panjang pendek kalimat dalam bahasa Indonesia belum ada, tetapi kita dapat memakai ukuran yang diberikan oleh Rudolf Flech dari Amerika Serikat. Flesch menyusun tabel rujukan sebagai berikut.
Tabel 2.1
Kejelasan Kalimat dalam Jumlah Kata
Kejelasan
Kata per kalimat
Mudah sekali
Kurang dari 8
Mudah
11
Agak mudah
14
Baku
17
Agak sulit
21
Sulit
25
Sangat sulit
Lebih dari 29

2.        Bangun Kalimat
Ukuran kejelasan kalimat bukan hanya ditentukan oleh penggunaan kata dan panjang pendek kalimat, tetapi juga oleh bangun kalimat. Bangun kalimat yang dapat memberikan nilai tambah bagi kejelasan kalimat adalah:
a.         Kalimat susun
1)      Mobil itu menabrak pohon. Mobil itu rusak.
2)      Mobil itu menabrak pohon dan mobil itu rusak.
3)      Mobil itu menabrak pohon sehingga rusak.
Kalimat 3 lebih mudah dipahami karena jalinan hubungan sebab akibat yang jelas sehingga mudah diingat.
b.         Informasi lama mendahului informasi baru
Contoh :
Rencana pembangunan lima tahun itu tidak dengan tegas merumuskan program penelitian lingkungan jangka panjang.
Dalam pasal mengenai penelitian jangka panjang rencana itu misalnya, menguraikan pengembangan teknik saja, sedangkan masalah berjangka panjang yang penting-penting tidak disinggungkan.
c.         Informasi pendek mendahului informasi panjang
1)        Antara lain kami/ telah mengirim/ kantor penelitian pengembangan dan pengkajian di Surabaya/ sebuah penganalisis gas.
2)        Bahwa kita dewasa ini ada dalam krisis energi/ sudah jelas.
Seharusnya:
1)        Antara lain kami/ telah mengirim/ sebuah penganalisis gas/ kepada kantor penelitian pengembangan dan pengkajian di Surabaya.
2)        Sudah jelas/ bahwa kita dewasa ini ada dalam krisis energi.
d.        Ketaksaan ialah adanya makna ganda dalam kalimat. Perhatikan contoh berikut ini.
1)      Anak dosen yang cantik (Siapa yang cantik? Anak dosen atau dosennya?)
2)      Orang dewasa ini kurang memiliki jiwa mapalus. (orang dewasa ini atau dewasa ini, orang?)
3)      Ruang kuliah mahasiswa yang baru tidak jauh dari sini. (Apanya yang baru? Ruangnya atau mahasiswanya.)
Untuk menghilangkan ketaksaan dapat dilakukan dengan
1)        Memberikan tanda hubung untuk memperjelas tali perhubungan,
2)        Dengan mengubah bangun kalimat,
3)        Mengganti istilah menjadi lebih jelas maknanya.
a)        Anak-dosen yang cantik.
b)        Dewasa ini, orang kurang memiliki jiwa mapalus.
c)        Ruang kuliah bagi mahasiswa baru tidak jauh dari sini.
Dalam bahasa ilmu dan teknik biasanya telah ada kesepakatan atau elaziman terhadap istilah-istilah yang mungkin menimbulkan makna ganda.
Tabel 2.2
Contoh Tabel Kesepakatan Makna dalam Peristilahan Teknik
No.
Makna
Istilah
Keterangan
1.
Tujuan
Rem bahaya
Rem yang digunakan untuk keadaan bahaya.
2.
Asas kerja
Rem angin
Rem yang bekerja berdasarkan kemampatan udara (angin).
3
Bahan
Rem baja karbon
Rem yang dibuat dari baja karbon
4.
Cara
Rem tangan
Rem yang dijalankan dengan tangan
5.
Raut
Rem cakram
Rem yang bagian utamanya berautcakram.
6.
Ukuran
Rem dua puluh senti
Rem yang diameternya dua puluh senti
7.
Fungsi
Rem depan
Rem untuk menghentikan roda depan.
8.
Nama Pencipta
Rem ghirling
Rem yang diciptakan oleh perusahaan Ghirling
9.
Acuan pembatas
Rem mobil
Rem pada mobil




D.    PerhitunganKeterbacaan dengan Grafik Fry
Harjasujana dan Yeti Mulyati (1997:135) mengemukakan bahwa, dari sekian banyak formula keterbacaan yang diperkenlakan orang, grafik Fry dan grafik Raygor merupakan dua alat yang dipandang praktis dan mudah menggunakannya. Namun karena alat tersebut diciptakan untuk mengukur wacana bahasa Inggris, maka pemakainnya untuk wacana bahasa Indonesia harus disesuikan.
Harjasujana dan Yeti Mulyati (1995:85) lebih jauh mengemukakan bahwa Banyak rumus yang dapat digunakan guru untuk menentukan tingkat keterbacaan suatu wacana. Penggunaan haus keterbacaan tersebut dapat dilakukan guru untuk memudahkan dalam mempersiapkan atau mengubah bahan bacaan dengan jalan meninggikan atau menurunkan tingkat keterbacaan antar lain gtrarik fry. Grafik fry merupakan hasil upaya untuk menyederhanakan dan pengefisienan teknik penentuan tingkat keterbacaan.
Edward Fry memperkenalkan formula keterbacaan yang disebut dengan grafik fry. Grafik Fry pertama kali dipublikasikan di majalah “journal of reading” pada tahun 1977, dan grafik yang asli dibuat pada tahun 1968. Formula keterbacaan dalam grafik ini berdasarkan dua faktor, yaitu panjang pendek kata dan tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh jumlah (banyak-sedikitnya) suku kata yang membentuk setiap kata dalam wacana tersebut (Muchlisoh, 1996:170).
Kelebihan grafik fry sebagaimana dijelaskan oleh Fry (Spadero dalam Bastable, 2002: 174) adalah memiliki kesederhanaan penggunaan tanpa harus mengorbankan keakuratan dan keluasan serta panjangnya jangkauan untuk menguji keterbacaan materi (terutama buku, pamphlet, dan brosur) pada tingkat kelas satu sampai perguruan tinggi.





Gambar 2.1 Grafik Fry
 












Dari grafik di atas, dapat dijelaskan beberapa hal. di bagian bawah grafik terdapat   deretan angka 108, 112, 116, 120 dan seterusnya. Angka-angka tersebut menunjukkan data rata-rata jumlah suku kata per seratus perkataan. Semakin banyak jumlah suku kata pada per seratus perkataan, semakin sulit wacana tersebut dan sebaliknya.
Angka-angka yang tertera di bagian samping kiri grafik terdapat deretan angka 2.0, 2.5, 16.7, dan seterusnya. Angka-angka tersebut menunjukkan data rata-rata jumlah kalimat per seratus perkataan. Hal ini menunjukkan faktor panjang pendek kalimat. 
Angka-angka yang berderet di bagian tengah grafik dan berada di antara garis-garis penyekat dari grafik tersebut menunjukkan perkiraan peringkat keterbacaan wacana yang diukur. Angka 1 menunjukkan peringkat 1, artinya wacana tersebut cocok untuk pembaca dengan level peringkat baca 1; angka 2 untuk peringkat baca 2, angka 3 untuk peringkat baca 3, dan seterusnya hingga pada peringkat universitas.
Daerah yang diarsir pada grafik yang terletak di sudut kanan atas dan sudut kiri bawah merupakan daerah invalid. Artinya, apabila hasil analisis keterbacaan se-buah wacana jatuh pada wilayah yang diarsir, maka wacana tersebut tidak valid sebagai bacaan yang ditawarkan pada pembaca.Oleh karena itu, wacana yang demikian sebaiknya tidak digunakan dan diganti dengah wacana lain.
Alasan digunakannya 100 perkataan karena angka tersebut merupakan jumlah kata yang dianggap sebagai jumlah yang representatif untuk mewakili sebuah wacana. Meskipun yang akan diukur keterbacaannya itu berupa buku yang tebalnya lebih kurang 500 halaman, pada saat dilakukan pengukuran keterbacaan, kita tidak perlu mengukur seluruh buku tersebut sejak halaman pertama hingga halaman terakhir buku itu. Kita cukup mengambil sampel dari bacaan tersebut sebanyak 100 perkataan. Memang, terdapat ketentuan khusus untuk pengukuran keterbacaan bahan-bahan bacaan yang relatif tebal seperti halnya buku; yakni pengukuran keterbacaan wacana itu harus dilakukan sebanyak tiga kali dengan sampel wacana yang berbeda-beda. Sampel pertama mungkin diambil dari halamanhalaman awal sebuah buku; sampel kedua dari bagian tengah buku; dan sampel terakhir dari halaman-halaman akhir buku itu.
Adapun petunjuk penggunaan grafik fry adalah sebagai beikut.
1.             Pilihlah penggalan yang representatif dari wacana yang hendak diukur tingkat keterbacaannya dengan mengambil 100 buah kata dari wacana yang hendak diukur keterbacannya. Yang dimaksud dengan kata dalam hal ini adalah sekelompok lambang yang dikiri dan dikanannya berpembatas. Dengan demikian lambang-lambang berikut, seperti, Fatimah, IKIP, 1999, dan = masing-masing dianggap sebagai satu perkataan.
2.             Hitunglah jumlah kalimat dari 100 kata tersebut hingga perpuluhan terdekat. Maksudnya jika kata yang termasuk dalam hitungan seratus buah perkataan (sampel wacana) tidak jatuh di ujung kalimat, maka perhitungan kalimat tidak akan selalu utuh malainkan selalu akan ada sisa. Sisanya itu tentu adalah sejumlah kata yang merupakan bagian dari deretan kata-kata yang membentuk kalimat utuh. Karena keharusan pengambilan sampel wacana berpatokan pada angka 100, maka sisa kata yang termasuk dalam hitungan seratus itu diperhitungkan dalam bentuk desimal (per puluhan).
3.             Hitunglah jumlah suku kata dari wacana sampel yang 100 buah kata tadi. Sebagai konsekuensi dari batasan kata (seperti dijelaskan pada langkah 1) di atas yang memasukkan angka singkatan sebagai kata, maka untuk kata dan singkatan, setiap lambang diperhitungkan sebagai satu suku kata. Misal, 234, terdiri atas tiga suku kata, IKIP terdiri atas empat suku kata.
4.             Perhatikan grafik fry. Kolom tegak lurus menunjukkan jumlah suku kata per saratus kata dan baris mendatar menunjukkan jumlah kalimat per seratus kata. Pertemuan garis vertikal (jumlah suku kata) dan garis horizontal (jumlah kalimat) menunjukkan tingkat-tingkat kelas pembaca yang diperkirakan mampu membaca wacana yang terpilih. Jika persilangan garis vertikal dan horizontal itu berada pada daerah gelap, maka wacana tersebut dinyatakan tidak absah. Guru harus memilih wacana lain dan mengulangi langkah-langkah yang sama.
5.             Tingkat keterbacaan ini bersifat perkiraan. Penyimpangan mungkin terjadi, baik ke atas maupun ke bawah. Oleh karena itu, peringkat keterbacaan wacana hendaknya ditambah satu tingkat dan dikurangi satu tingkat. Sebagai contoh, jika titik pertemuan dari persilangan garis horizontal untuk data jumlah kalimat dan vertikal untuk data jumlah suku kata jatuh ke wilayah 6, maka peringkat wacana yang diukur tersebut harus diperkirakan tingkat keterbacaan yang cocok untuk peringkat 5, yakni (6-1) dan 7, yakni  (6+1) (Hardjasujana, 1996:132—137).
Grafik fry pada dasarnya merupakan hasil penelitian terhadap wacana bahasa Inggris. Hardjasujana menambahkan satu langkah lagi apabila ingin menggunakan grafik fry untuk mengukur keterbacaan wacana bahasa Indonesia, yakni mengalikan hasil perhitungan suku kata dengan angka 0,6. Angka ini diperoleh dari hasil penelitian (sederhana) yang memperoleh bukti bahwa perbandingan antara jumlah suku kata bahasa Inggris dengan jumlah suku kata bahasa Indonesia itu 6:10 (6 suku kata dalam bahasa Inggris kira-kira sama dengan 10 suku kata dalam bahasa Indonesia).
Untuk menentukan tingkat keterbacaan yang jumlah katanya kurang dari seratus kata, para ahli telah menemukan jalan pemecahan yang sederhana. Pemecahannya adalah dengan cara melakukan penyesuaian terhadap prosedur penggunaan grafik fry dengan mengajukan daftar grafik fry. Prosedur yang disarankan ialah dengan menempuh langkah-langkah sebagai berikut.
1.         Hitunglah jumlah kata dalam wacana yang akan diukur tingkat keterbacaannya itu dan bulatkan pada bilangan per sepuluh yang terdekat.
2.         Hitunglah jumlah kata dan kalimat yang ada dalam wacana tersebut.
3.         Selanjutnya perbanyak jumlah kalimat dan suku kata dengan angka-angka yang ada dalam daftar konversi seperti yang tampak di bawah ini.
Tabel 2.3
Konversi untuk Grafik Fry

 
4.          










Dengan demikian Grafik Fry dapat digunakan lagi menurut ketentuan yang berlaku.Berikut ini adalah contoh penggunaan grafik fry dengan mengkonversikan jumlah kata.




Jika jumlah kata dalam wacana itu berjumlah:perbanyaklah jumlah suku-kata dan kalimat dengan bilangan berikut:303,3402,5502,0601,67701,43801,25901,1 Mari kita perhatikan contohnya.
Dalam contoh di bawah ini, kita umpamakan setiap tanda garis putus menunjukkan suku kata dan kemlompok tanda garis putus-putus tersebut kita umpamakan sebagai kata yang terdapat dalam sebuah wacana.
Selanjutnya, coba anda tentukan tingkat keterbacaan wacana tersebut! Cocok untuk kelas berapakah wacana tersebut?
Wacana
Jumlah Suku Kata
---- -- -- -- -- --- ---- - --- -,
25
- --- -- -- -- --? -- -- - -- -
20
-- --- -- - -- --- --?
15
Jumlah
60

Jumlah 60 Jika kita ingin menentukan tingkat keterbacaan wacana (contoh) di atas, maka akan kita dapati data berikut ini.
1.        Jumlah kata dalam wacana tersebut ada 34 buah, pada daftar konversi diklasifikasikan ke dalam golongan angka 30.
2.        Jumlah kalimatnya ada 2 buah.
3.        Jumlah suku katanya ada 60 suku kata.
4.        Angka konversi untuk perbanyakan jumlah kalimat dan jumlah suku kata untuk jumlah kata 30 adalah 3.3.
Dengan demikian jumlah kalimat dan jumlah suku kata hasil konversi menjadi:
a.         Jumlah kalimat : 2 x 3.3 = 6.6
b.         Jumlah suku kata: 60 x 3.3 = 198
5.        Setelah diplotkan ke dalam Grafik Fry, titik temu dari persilangan data kalimat (6.6) dengan data suku kata (198) itu jatuh pada wilayah universitas. Artinya tingkat keterbacaan wacana tersebut, cocok untuk peringkat universitas.
 
































Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan grafik fry adalah sebagai berikut.
1.         Untuk mengukur tingkat keterbacaan sebuah buku, maka hendaknya dilakukan pengukuran sebanyak 3 kali percobaan dengan pemilihan sampel dari wacana bagian awal buku, bagian tengah buku, dan bagian akhir buku. Kemudian hitung hasil rata-ratanya.
2.         Grafik Fry merupakan penelitian untuk wacana bahasa Inggris. Seperti kita ketahui, struktur bahasa Inggris sangat berbeda dengan struktur bahasa Indonesia, terutama dalam hal sistem suku katanya. Untuk memperoleh gambaran mengenai hal ini, mari kita perhatikan contoh sederhana berikut.
a.         I go to school.
b.        Saya pergi ke sekolah.
Pada contoh kalimat a (bahasa Inggris) kita dapati 4 suku kata; sedangkan dalam kalimat b (bahasa Indonesia) kita dapati 8 suku kata. Dalam bahasa Inggris, pada umumnya sering kita jumpai kata-kata yang bersuku tunggal. Coba saja kita periksa kosakata nama diri dalam bahasa Inggris, misalnya: hand, foot, leg, lip, mouth, tooth, head, hair dan seterusnya; kemudian mari kita bandingkan dengan kosakata berikut: tangan, kaki, bibir, mulut, gigi, kepala, rambut. Berdasarkan contoh-contoh berikut, kita berkesimpulan bahewa sistem pola suku kata dalam bahasa Indonesia pada umumnya mempunyai ciri dwisuku atau bahkan lebih. Keadaan ini sangat berbeda dengan sistem persukukataan dalam bahasa Inggris. Dari 100 buah perkataan dalam bahasa Indonesia, pada umumnya akan diperoleh jumlah suku kata di atas 200-an. Berdasarkan kenyataan tersebut, dapatlah dipastikan bahwa berdasarkan Grafik Fry tidak akan pernah didapati wacana bahasa Indonesia yang cocok untuk peringkatperingkat kelas rendah, seperti kelas 1 dan 2, sebab titik pertemuan antara garis yang menunjukkan rata-rata jumlah kalimat dan rata-rata jumlah suku kata akan selalu jatuh pada daerah yang diarsir.

BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Keterbacaan merupakan alih bahasa dari “Readability” yang merupakan turunan dari “Readable”,artinya dapat dibaca atau terbaca. Keterbacaan berkaitan dengan kemudahan suatu teks untuk dibaca. Suatu teks dikatakan berketerbacaan tinggi apabila mudah dipahami. Sebaliknya, teks dikatakan berketerbacaan  rendah apabila sulit dipahami. tingkat keterebacaan dapat diartikan sebagai tingkat kesulitan atau kemudahan wacana. Tingkat keterbacaan biasanya dinyatakan dalam bentuk peringkat kelas. Oleh karena itu, setelah melakukan pengukuran keterbacaan sebuah wacana, seorang guru akan dapat mengetahui kecocokan materi bacaan tersebut yang dapat digunakan untuk peringkat kelas tertentu. Faktor yang paling utama mempengaruhi keterbacaan ada dua hal, yakni panjang pendeknya kalimat dan tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh jumlah huruf dan penyataan yang membentuknya.
BSNP telah menetapkan “keterbacaan” sebagai salah satu dari lima aspek yang dijadikan standar penilaian buku pelajaran yang baik. Ini menandakan bahwa faktor keterbacaan wacana harus menjadi perhatian utama dalam penulisan wacana, terutama untuk bahan ajar dan buku pelajaran. Kita menyadari bahwa buku pelajaran adalah media pembelajaran yang dominan peranannya di kelas. Oleh karena itu, buku pelajaran harus dirancang dengan baik dan benar dengan memperhatikan kelima standar yang ditetapkan itu. Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22/2007 maka buku pelajaran yang dipakai di setiap sekolah seharusnya memenuhi standar kelayakan tersebut.
Harjasujana dan Mulyati  (1996/1997: 107)  menegaskan bahwa  penelitian yang terakhir membuktikan bahwa ada dua faktor yang berpengaruh terhadap keterbacaan, yakni:
1.         Panjang  pendeknya kalimat. Semakin panjang kalimat dan semakin panjang kata maka bahan bacaan tersebut semakin sukar. Sebaliknya, jika kalimat dan kata-katanya pendek-pendek, maka wacana dimaksud tergolong wacan yang mudah.
2.         Tingkat kesulitan kata. Hafni juga menegaskan bahwa semua formula baca bertolak dari ukuran kata. Semakin sulit bacaan tersebut dimengerti, maka tingkat keterbacaan wacana tersebut rendah. Sebaliknya, semakin mudah bacaan tersebut dimengerti, maka tingkat keterbacaan wacana tersebut tinggi.
Grafik Fry pertama kali dipublikasikan di majalah “journal of reading” pada tahun 1977, dan grafik yang asli dibuat pada tahun 1968. Formula keterbacaan dalam grafik ini berdasarkan dua faktor, yaitu panjang pendek kata dan tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh jumlah (banyak-sedikitnya) suku kata yang membentuk setiap kata dalam wacana tersebut (Muchlisoh, 1996:170).

B.      Saran
Berdasarkan penjelasan tentang manajamen sekolah, penulis memberikan saran bagi pelaksana/guru  yaitu:
1.     Hendaknya para guru memiliki kemampuan untuk mengukur keterbacaan pada sebuah  teks bacaan yang akan disajikan kepada siswa. Hal ini bertujuan agar materi yang diberikan oleh guru dapat sesuai dengan tingkat keterbacaannya.
2.    Guru bahasa Indonesia juga sebaiknya dapat meningkatkan kemampaun membaca siswa denganteknik baca yang cepat. Dalam melaksanakan pembelajaran membaca hendaknya guru mengetahui benar teori-teori membaca.
3.    Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran membaca ataupun pembelajaran lainnya hendaknya guru dapat melaksanakn pemebelajaran dengan model penelitian tindakan kelas.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Yunus. 2010. Strategi Membaca Teori dan Pembelajaran. Bandung: Rizqy Press.
Andriana, Winda. 2012. Analisis Keterbacaan Teks Buku Pelajaran Kelas III SD: Studi Kasus Untuk Teks Bahasa Indonesia, IPA dan IPS. [online]. Tersedia: http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20323993-S43507-Analisis%20keterbacaan.pdf. [16 Oktober 2016].
Dwipratama, F. A. 2013. Keterbacaan Makalah. [online]. Tersedia: https://www.academia.edu/5355254/KETERBACAAN_MAKALAH. [18Oktober 2016].
Rahayu, Minto. 2007. Bahasa Indonesia Perguruan Tinggi. Jakarta: PT. Grasindo.
Sitepu, B. P. 2010. Keterbacaan. [online]. Tersedia: https://bintangsitepu.wordpress.com/2010/09/11/keterbacaan/. [16 Oktober 2016].
Sulastri, Isna. 2010. Keterbacaan Wacana dan Teknik Pengukurannya. [online]. Tersedia: https://uniisna.wordpress.com/2010/12/31/keterbacaan-wacana-dan-teknik-pengukurannya-2/. [16 Oktober 2016].
Syarofah, Binti. 2012. Perbandingan Tingkat Keterbacaan BSE dan Non BSE Bahasa Indonesia untuk Kelas X SMA Negeri di Kota Yogyakarta. [online]. Tersedia: http://eprints.uny.ac.id/25264/1/Binti%20Syarofah%2008201241014.pdf. [25 Oktober 2016].





No comments:

Post a Comment