BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Sebagaimana
telah diungkapkan sebelumnya bahwa bahasa memiliki peran penting dalam
kehidupan manusia. Smarapradhipa (2005:1), memberikan dua pengertian bahasa.
Pengertian menyatakan bahasa sebagai alat komunikasi antaranggota masyarakat
berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Kedua, bahasa
adalah sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran)
yang bersifat abriter. Dari pengertian tersebut terdapat gejala dalam bahasa. Sebelumnya
gejala bahasa merupakan peristiwa yang menyangkut bentukan-bentukan kata atau
kalimat dengan segala proses pembentukannya (Badudu, 1985:45).
Belum
selesai masalah tentang gejala bahasa, muncullah fenomena tentang bahasa gaul
dan bahasa alay. Semakin berkembangnya zaman seperti yang kita ketahui semakin
banyak perubahan yang bahasa yang terjadi. Didalam makalah ini kami menjelaskan
tentang gejala bahasa dan fenomena bahasa gaul dan alay tersebut.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, didapat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Pengertian
Gejala Bahasa ?
2. Macam-
macam Gejala Fonemis atau Gejala Bahasa ?
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan
dari masalah ini adalah:
1.
Untuk mengetahui Pengertian Gejala
Bahasa
2.
Untuk mengetahui Macam- macam Gejala
Fonemis atau Gejala Bahasa
D.
Manfaat
penulisan
Manfaat
dari penulisan ini adalah agar semua tahu dampak positif dan negatif dari
gejala bahasa, bahasa alay dan bahasa gaul. Dan bagaimana dampaknya terhadap
masa depan generasi muda Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Gejala Bahasa
Gejala bahasa atau gejala fonemis ialah peristiwa yang menyangkut
bentukan-bentukan kata atau kalimat dengan segala proses pembentukannya
(Badudu, 1985:47). Beberapa gejala bahasa ternyata banyak ditemukan di dalam
bahasa gaul yang digunakan remaja-remaja yaitu berupa penghilangan fonem
(afaresis, sinkop, apokop), penambahan fonem (efentesis, paragog), metasis,
gejala adaptasi, akronim, singkatan.
Penutur bahasa yang heterogen membuat
bahasa menjadi beragam dan bervariasi. Bahasa akan terus berkembang dan
bervariasi seiring perkembangan zaman. Terjadinya keragaman atau kevariasian
bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen
tetapi perbedaan pekerjaan, profesi, jabatan atau tugas para penutur pun dapat
menyebabkan adanya variasi bahasa. Variasi atau ragam bahasa itu dapat
dibedakan berdasarkan penutur dan penggunaannya.
Dari segi penutur, ragam bahasa dapat
dibagi atas idiolek, dialek, kronolek, dan sosiolek penjelasannya adalah sebagai
berikut:
1.
Idiolek merupakan variasi bahasa yang
bersifat perseorangan yang berkenaan dengan warna suara, pilihan kata, gaya
bahasa, dan sebagainya.
2.
Dialek merupakan variasi bahasa dari
sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada satu tempat,
wilayah, atau area tertentu.
3.
Kronolek merupakan variasi bahasa yang
digunakan oleh sekelompok sosial pada masa tertentu. Umpamanya, variasi bahasa
Indonesia yang digunakan pada tahun lima puluhan berbeda dengan variasi bahasa
yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu. Umpamanya, variasi
bahasa Indonesia yang digunakan pada lima puluhan tahun berbeda dengan variasi
bahasa yang digunakan pada masa kini.
4.
Sosiolek merupakan variasi bahasa yang
berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial penuturnya. Sosiolek
terbagi atas beberapa bagian, yakni akrolek, basilek, vulgar, kolokial, jargon,
dan slang (Chaer dan Agustina, 1995:80). Slang merupakan bagian dari sosiolek.
Slang adalah ragam bahasa tidak resmi yang dipakai oleh kaum remaja atau
kelompok-kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern sebagai usaha supaya
orang lain atau kelompok lain tidak mengerti berupa kosa kata yang serba baru
dan berubah-ubah (Kridalaksana, 1984:281).
Ada asumsi penting di dalam
sosiolinguistik yang menyatakan bahwa bahasa itu tidak pernah monolitik
keberadaannya (Bell, 1975). Bahasa selalu mempunyai ragam atau variasi. Asumsi
itu mengandung pengertian bahwa sosiolinguistik memandang masyarakat yang
dikajinya sebagai masyarakat yang beragam setidak-tidaknya dalam hal penggunaan
bahasa. Adanya fenomena panggunaan variasi bahasa dalam masyarakat tutur
dikontrol oleh faktor-faktor sosial, budaya, dan situasional (Kartomihardjo
1981; Fasold 1984; Hudson 1996).
Pemilihan bahasa (language choice) dalam
masyarakat multibahasa merupakan gejala yang menarik untuk dikaji dalam
perspektif sosiolinguistik. Bahkan Fasold (1984: 180) mengemukakan bahwa
sosiolinguistik dapat menjadi bidang studi karena adanya pilihan bahasa. Fasold
memberikan ilustrasi dengan istilah societal multilingualism yang yang mengacu
pada kenyataan adanya banyak bahasa dalam masyarakat. Tidaklah ada bab tentang
diglosia apabila tidak ada variasi tinggi dan rendah. Pada kenyataannya setiap
bab dari buku sosiolinguistik karya Fasold (1984) memusatkan pada paparan
tentang kemungkinan adanya pilihan bahasa yang dilakukan masyarakat terhadap
penggunaan variasi bahasa. Statistik sekalipun menurut Fasold tidak akan
diperlukan dalam sosiolinguistikapabila tidak ada variasi penggunaan bahasa dan
pilihan di antara variasi-variasi tersebut.
Dalam pemilihan bahasa terdapat tiga
kategori pilihan . Pertama, dengan memilih satu variasi dari bahasa yang sama
(intra language variation). Apabila seorang penutur bJ berbicara kepada orang
lain dengan menggunakan bJ kromo, misalnya, maka ia telah melakukan pilihan
bahasa kategori pertama ini. Kedua, dengan melakukan alih kode (code
switching), artinya menggunakan satu bahasa pada satu keperluan dan menggunakan
bahasa yang lain pada keperluan lain dalam satu peristiwa komunikasi. Ketiga,
dengan melakukan campur kode (code mixing) artinya menggunakan satu bahasa
tertentu dengan bercampur serpihan-serpihan dari bahasa lain.
Peristiwa perlaihan bahasa atau alih
kode dapat terjadi karena beberapa faktor. Reyfield (1970: 54-58) berdasarkan
studinya terhadap masyarakat dwi bahasa Yahudi-Inggris di Amerika mengemukakan
dua faktor utama, yakni respon penutur terhadap situasi tutur dan faktor
retoris. Faktor pertama menyangkut situasi seperti kehadiran orang ketiga dalam
peristiwa tutur yang sedang berlangsung dan perubahan topik pembicaraan. Faktor
kedua menyangkut penekanan kata-kata tertentu atau penghindaran terhadap
kata-kata yang tabu. Menurut B;om dan Gumperz (1972: 408-409) terdapat dua
macam alih kode , yaitu (1) alih kode situasional (situational switching) dan
(2) alih kode metaforis. Alih kode yang pertama terjadi karena perubahan
situasi dan alih kode yang kedua terjadi karena bahasa atau ragam bahasa yang
dipakai merupakan metafora yang melambangkan identitas penutur.
Campur kode (code mixing) merupakan
peristiwa pencampuran dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu
peristiwa tutur. Di dalam masyarakat tutur jawa yang diteliti ini juga terdapat
gejala ini. Gejala seperti ini cenderung mendekati pengertian yang dikemukakan
oleh Haugen (1972: 79-80) sebagai bahasa campuran (mixture of language), yaitu
pemakaian satu kata, ungkapan, atau frase. Di Filipina menurut Sibayan dan
Segovia (1980: 1130 disebut mix-mix atau halu-halu atau taglish untuk pemakaian
bahasa campuran antara bahasa tagalog dan bahasa Inggris. Di Indonesia, Nababan
(1978: 7) menyebutkan dengan istilah bahasa gado-gado untuk pemakaian bahasa
campuran antara bl dan bahasa daerah.
Kajian pemilihan bahasa menurut Fasold
(1984: 183) dapat dilakukan berdasarkan tiga pendekatan, yaitu pendekatan
sosiologi, pendekatan psikologi sosial, dan pendekatan antropologi. Pendekatan
sosiologi berkaitan dengan analisis ranah. Pendekatan ini pertama dikemukakan
oleh Fishman (19640. Pendekatan sosiologi sosial lebih tertarik pada proses
psikologi manusia daripada kategori dalam masyarakat luas. Pendekatan
antropologi tertarik dengan bagaimana seorang penutur berhubungan dengan
struktur masyarakat.
Gejala bahasa
banyak terjadi di masyarakat. Gejala bahasa bisa berupa penambahan ataupun
pengurangan pada fonem ataupun morfem.
Bahasa nasional
dan bahasa daerah jelas mewakili masyarakat tutur tertentu dalam hubungan
dengan variasi kebahasaan. Sebagai contoh adanya masyarakat bahasa di
Indonesia. Setiap hari mahasiswa yang berasal dari masyarakat tutur bahasa jawa
dan mahasiswa dari masyarakat tutur bahasa Batak sama-sama kuliah di Semarang.
Dalam berinteraksi dengan sesamanya, mereka menggunakan bahasa Indonesia. Jadi,
meskipun mereka berbahasa ibu yang berbeda, mereka tetap pendukung masyarakat
tutur bahasa Indonesia. Dalam hal ini, memang tidak terlepas dari fungsi ganda
bahasa Indonesia: sebagai bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa persatuan.
Sebagaimana
diuraikan di atas bahwa gejala bahasa dapat terjadi, berupa penambahan,
pengurangan pada fonem maupun morfem. Berikut penjelasannya:
1.
Penghilangan Fonem
a.
Afaresis
Afaresis
adalah penghilangan fonem pada awal kata (Badudu, 1985:64). Contoh:umudik
menjadi mudik, stani (Sansekerta) menjadi tani. Adapun contoh gejala afaresis
dalam bahasa gaul umum, seperti:emang dari memang, aja dari saja, dan naruh
dari menaruh.
b.
Sinkop
Sinkop
adalah proses penghilangan fonem ditengah kata. Contoh gejala sinkop,
seperti:bahasa menjadi basa, sahaya menjadi saya, dan gemericik menjadi gemercik.
Adapun contoh gejala sinkop dalam bahasa gaul umum, seperti:asik dari asyik,
sodara dari saudara, b’lom dari belum, dan sapa dari siapa.
c.
Apokop
Apokop
yaitu proses penghilangan fonem pada akhir kata. Contoh gejala apokop,
seperti:import menjadi impor dan eksport menjadi ekspor. Adapun contoh gejala
apokop dalam bahasa gaul umum, seperti:kalo dari kalau, pake dari pakai, dan
minim dari minimum.
2.
Penambahan Fonem
Selain
penghilangan fonem, terjadi pula penambahan fonem dalam kata. Beberpa bentuk
gejala bahasa (penambahan fonem) dinamakan protesis, epentesis, dan paragog.
a.
Protesis
Protesis
yaitu peristiwa penambahan fonem diawal kata. Contoh gejala protesis menurut,
seperti:mas menjadi emas dan stri (Sansekerta) menjadi istri.
b.
Epentasis
Epentesis
yaitu peristiwa penambahan fonem ditengah kata. Contoh gejala epentesis
menurut, seperti: kapak menjadi kampak, sajak menjadi sanjak, dan peduli
menjadi perduli.
c.
Paragog
Paragog
adalah peristiwa penambahan fonem diakhir kata. Contoh gejala paragog, seperti:
hulubala menjadi hulubalang, ina menjadi inang, dan sila menjadi silah (pada
kata dipersilahkan).
B.
Macam-
macam Gejala Fonemis atau Gejala Bahasa
1.
Gejala dalam Interferensi Bahasa
Hubungan yang terjadi antara
kedwibahasaan dan interferensi sangat erat terjadi. Hal ini dapat dilihat pada
kenyataan pemakaian bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Situasi kebahasaan
masyarakat tutur bahasa Indonesia sekurang-kurangnya ditandai dengan pemakaian
dua bahasa, yaitu bahasa daerah sebagai bahasa ibu dan bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional. Situasi pemakaian seperti inilah yang dapat memunculkan
percampuran antara bahasa nasional dan bahasa Indonesia. Bahasa ibu yang
dikuasai pertama, mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pemakaian bahasa kedua,
dan sebaliknya bahasa kedua juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap
pemakaian bahasa yang pertama. Kebiasaan untuk memakai kedua bahasa lebih
secara bergantian disebut kedwibahasaan. Peristiwa semacam ini dapat
menimbulkan interferensi.
Interferensi secara umum dapat diartikan
sebagai percampuran dalam bidang bahasa. Percampuran yang dimaksud adalah
percampuran dua bahasa atau saling pengaruh antara kedua bahasa. Hal ini
dikemukakan oleh Poerwadarminto dalam Pramudya (2006: 27) yang menyatakan bahwa
interferensi berasal dari bahasa inggris interference yang berarti percampuran,
pelanggaran, rintangan. Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh
Weinreich (1968: 1) untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa
sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa
lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Penutur yang bilingual adalah
penutur yang menggunakan dua bahasa secara bergantian, sedangkan penutur
multilingual merupakan penutur yang dapat menggunakan banyak bahasa secara
bergantian. Peristiwa interferensi terjadi pada tuturan dwibahasawan sebagai
kemampuannya dalam berbahasa lain.
Weinreich (1968: 1) juga mengatakan
bahwa interferensi adalah bentuk penyimpangan penggunaan bahasa dari
norma-norma yang ada sebagai akibat adanya kontak bahasa karena penutur
mengenal lebih dari satu bahasa. Interferensi berupa penggunaan bahasa yang
satu dalam bahasa yang lain pada saat berbicara atau menulis. Di dalam proses
interferensi, kaidah pemakaian bahasa mengalami penyimpangan karena adanya pengaruh
dari bahasa lain. Pengambilan unsur yang terkecil pun dari bahasa pertama ke
dalam bahasa kedua dapat menimbulkan interferensi.
Poedjosoedarmo (1989: 53) menyatakan
bahwa interferensi dapat terjadi pada segala tingkat kebahasaan, seperti cara
mengungkapkan kata dan kalimat, cara membentuk kata dan ungkapan, cara
memberikan kata-kata tertentu, dengan kata lain interferensi adalah pengaturan
kembali pola-pola yang disebabkan oleh masuknya elemen-elemen asing dalam
bahasa yang berstruktur lebih tinggi, seperti dalam fonemis, sebagian besar
morfologis dan sintaksis, serta beberapa perbendaharaan kata (leksikal).
Dalam proses interferensi, terdapat tiga
unsur yang mengambil peranan, yaitu: Bahasa sumber atau bahasa donor, bahasa
penyerap atau bahasa resipien, dan unsur serapan atau importasi. Dalam
peristiwa kontak bahasa, mungkin sekali pada suatu peristiwa, suatu bahasa
menjadi bahasa donor, sedangkan pada peristiwa yang lain bahasa tersebut
menjadi bahasa resipien. Saling serap adalah peristiwa umum dalam kontak
bahasa.
2.
Gejala Metasis Bahasa
Gejala metasi adalah gejala yang
memperlihatkan pertukaran tempat satu atau beberapa fonem. Contoh gejala
metasis, seperti:sapu menjadi usap, lekuk menjadi keluk, dan berantas menjadi
banteras.
3.
Gejala Adaptasi Bahasa
Adaptasi
artinya penyesuaian. Kata-kata serapan yang diambil dari bahasa asing berubah
bunyinya sesuai dengan pendengaran atau ucapan orang Indonesia. Beberapa contoh
adaptasi bahasa asing (Inggris) menjadi bahasa gaul, seperti:merit dari
married, plis dari please, akting dari acting, dan hepi dari happy.
4.
Gejala Hiperkorek
Gejala
hiperkorek merupakan gejala pembentukan kata yang menunjukkan sesuatu yang
salah, baik ucapan maupun ejaan (tulisan). Contoh gejala hiperkorek,
seperti:zaman menjadi jaman, izin menjadi ijin, dan ijazah menjadi izazah.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari
permasalahan yang telah dibahas, dapat disimpulkan bahwa :
1. Gejala
bahasa adalah peristiwa yang menyangkut bentukan-bentukan kata atau kalimat
dengan segala proses pembentukannya.
2. Dari
segi penutur,ragam bahasa dapat dibagi atas idiolek, dialek, kronolek, dan
sosiolek.
3. Bahasa
alay merupakan bahasa sandi yang hanya berlaku dalam komunitas mereka.
Penggunaan bahasa sandi tersebut menjadi masalah jika digunakan dalam komunikasi
massa atau dipakai dalam komunikasi secara tertulis.
4. Bahasa
gaul adalah ragam bahasa Indonesia nonstandar yang lazim digunakan di Jakarta
pada tahun 1980-an.
5. Gejala
bahasa yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia
dianggap sebagai penyimpangan terhadap bahasa.
6. Bahasa
yang digunakan oleh anak muda pada umumnya ini muncul dari kreativitas mengolah
kata baku dalam bahasa Indonesia menjadi kata yang tidak baku.
B.
SARAN
Adapun saran yang
dapat penulis sampaikan yaitu kita sebagai calon pendidik, harus selalu
menggali potensi yang ada pada diri kita. Cara menggali potensi dapat dilakukan
salah satunya dengan cara mempelajari makalah ini. Mudah-mudahan makalah ini
dapat bermanfaat untuk kita ke depannya. Amiinn.
DAFTAR PUSTAKA
http://googleweblight.com/?lite_url=http://hendrisetiawan95.blogspot.com/2015/03/gejala-bahasa-tugas-makalah-bahasa.html
No comments:
Post a Comment