pembelajaran matematika sekolah dasar


MAKALAH
“PEMBELAJARAN MATEMATIKA SEKOLAH DASAR (SD)
(Ditujukan Guna Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Konsep Dasar Matematika)
Dosen Pengampu : Liyana Sunanto, M.Pd
Disusun Oleh:
Kelompok 1
Kelas SD13.A-2
Semester 3
                   Dewi Pujiarti                                              130641075
                   Indah Purnama Sari                                 130641074
Wahyu Rosidin                                         130641073
Warlinah                                                   130641055

FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN
S1 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH CIREBON
CIREBON
2014


Kata Pengantar
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan berkah dan rahmat-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan judul “Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar (SD)”. Adapun tujun dari penyusunan dalam tugas makalah ini yaitu untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Matematika”.
Dalam penyusunan makalah ini penyusun menyadari bahwa, makalah ini tidak akan selesai dengan lancar dan tepat waktu tanpa adanya bantuan, dorongan dan bimbingan dari dosen pengampu mata kuliah “MatematikaIbu “Liyana Sunanto, M.Pd”. penyusun menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki maka penyusun meminta kritik dan saran yang sifatnya membangun.
Semoga makalah ini bermanfaat dan dapat menambah wawasan bagi kita semua didalam dunia pendidikan. Dan semoga mampu menjadi pendidik yang patut di tauladani oleh anak didik.




Cirebon Setember 2014

Penyusun






DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................................ ...... i
DAFTAR ISI ................................................................................................................ ...... ii
BAB  I  PENDAHULUAN ......................................................................................... ...... 1
A.    Latar Belakang .......................................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah ..................................................................................................... 2
C.     Tujuan Penulisan ....................................................................................................... 2
BAB II  PEMBAHASAN............................................................................................. ...... 3
A.    Standar isi (kurikulum 2013) Matematika Sekolah Dasar ........................................ 3
B.     Teori belajar matematika ........................................................................................... 9
C.     Pendekatan pembelajaran matematika ...................................................................... 16
D.    Metode pembelajaran matematika ............................................................................ 27
E.     Alat Peraga Pendidikan ............................................................................................ 34
BAB III  PENUTUP .................................................................................................... ...... 39
A.    Kesimpulan ............................................................................................................... 39
B.     Saran ......................................................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. ...... 40









BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Matematika merupakan alat untuk  memberikan cara berpikir, menyusun pemikiran yang jelas, tepat dan teliti. Hudojo (2005) menyatakan, matematika sebagai suatu obyek abstrak, tentu saja sangat sulit dapat dicerna anak-anak Sekolah Dasar (SD) yang mereka oleh Piaget, diklasifikasikan masih dalam tahap operasi konkret. Siswa SD belum mampu untuk berpikir formal maka dalam pembelajaran matematika sangat diharapkan bagi para pendidik mengaitkan proses belajar mengajar di SD dengan benda konkret.
Heruman (2008) menyatakan dalam pembelajaran matematika SD, diharapkan terjadi reinvention (penemuan kembali). Penemuan kembali adalah menemukan suatu cara penyelesaian  secara informal dalam pembelajaran di kelas. Selanjut Heruman menambahkan bahwa dalam pembelajaran matematika harus terdapat keterkaitan antara pengalaman belajar siswa sebelumnya dengan konsep yang akan diajarkan. Sehingga diharapkan pembelajaran yang terjadi merupakan pembelajaran menjadi lebih bermakna (meaningful), siswa tidak hanya belajar untuk mengetahui sesuatu (learning to know about), tetapi juga belajar melakukan (learning to do), belajar menjiwai (learning to be), dan belajar bagaimana seharusnya belajar (learning to learn), serta bagaimana bersosialisasi dengan sesama teman (learning to live together).
Siswa Sekolah Dasar (SD) berada pada umur  yang berkisar antara usia 7 hingga 12 tahun, pada tahap ini siswa masih berpikir pada fase operasional konkret. Kemampuan yang tampak dalam fase ini adalah kemampuan dalam proses berpikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika, meskipun masih terikat dengan objek  yang bersifat konkret (Heruman, 2008). Siswa SD masih terikat dengan objek yang ditangkap dengan pancaindra, sehingga sangat diharapkan dalam pembelajaran matematika yang bersifat abstrak, peserta didik lebih banyak menggunakan media sebagai alat bantu, dan penggunaan alat peraga. Karena dengan penggunaan alat peraga dapat memperjelas apa yang disampaikan oleh guru, sehingga siswa lebih cepat memahaminya. Pembelajaran matematika di SD tidak terlepas dari dua hal yaitu hakikat matematika itu sendiri dan hakikat dari anak didik di SD.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana standar isi (kurikulum 2013) matematika SD
2.      Bagaimana teori belajar matematika?
3.      Bagaimana pendekatan belajar matematika?
4.      Metode pembelajaran matematika?
5.      Apa saja alat peraga matematika?
C.    Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuannya adalah untuk:
1.      Mengetahui standar isi (kurikulum 2013) matematika SD.
2.      Mengetahui  teori belajar matematika.
3.      Mengetahui pendekatan belajar matematika.
4.      Mengetahui Metode pembelajaran matematika.
5.      Mengetahui Apa saja alat peraga matematika.



















BAB II
                                                             PEMBAHASAN        

A.    Standar isi (kurikulum 2013) Matematika Sekolah Dasar
Di dalam standar isi itu terdapat 2 kompetensi yang ingin di capai yaitu kompetensi inti dan kompetensi dasar, berikut kami akan sedikit memaparkan tentang kompetensi inti dan kompetensi dasar matematika kelas 1, 2, dan 3.
1.      Kelas 1
Kompetensi Inti
Kompetensi Dasar
1.      Menerima dan menjalankan ajaran agama yang di anutnya

2.      Memiliki perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, dan guru
2.1  Menunjukkan perilaku patuh pada aturan dalam melakukan penjumlahan dan pengurangan sesuai prosedur/aturan dengan memperhatikan nilai tempat puluhan dan satuan
2.2  Menunjukkan perilaku teliti dan perduli dengan menata benda-benda di sekitar ruang kelas berdasarkan dimensi (bangun datar, bangun ruang), beratnya, atau urutan kelompok terkecil sampai terbesar
2.3  Menunjukkan perilaku tertib dan rapi saat berbaris berdasarkan urutan tinggi badan
2.4  Menunjukkan perilaku disiplin tepat waktu dalam melakukan aktivitas di sekolah dengan memperhatikan tanda-tanda saat jam belajar dan jam istirahat

3.      Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati [mendengar, melihat, membaca] dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah dan di sekolah
3.1  Mengenal bilangan asli sampai 99 dengan menggunakan benda-benda yang ada di sekitar rumah, sekolah, atau tempat bermain
3.2  Mengenal bangun datar dan bangun ruang menggunakan benda-benda yang ada di sekitar rumah, sekolah, atau tempat bermain.
3.3  Membandingkan dengan memperkirakan lama suatu aktivitas berlangsung menggunakan istilah sehari-hari (lebih lama, lebih singkat)
3.4  Membandingkan dengan memperkirakan berat suatu benda menggunakan istilah sehari-hari (lebih berat, lebih ringan
3.5  Membandingkan dengan memperkirakan panjang suatu benda menggunakan istilah sehari-hari (lebih panjang, lebih pendek)
3.6  Mengenal dan memprediksi pola-pola bilangan sederhana menggunakan gambar-gambar/benda konkrit
3.7  Menemukan bangun yang membentuk pola pengubinan sederhana
3.8  Menentukan pola dari sebarisan bangun datar sederhana menggunakan benda-benda yang ada di alam sekitar
3.9  Mengenal panjang, luas, massa, kapasitas, waktu, dan suhu
3.10          Menunjukkan pemahaman tentang besaran dengan menghitung maju sampai 100 dan mundur dari 20
3.11          Menentukan urutan berdasarkan panjang pendeknya benda, tinggi rendahnya tinggi badan, dan urutan kelompok berdasarkan jumlah anggotanya
3.12          Mengenal lambang bilangan dan mendeskripsikan kemunculan bilangan dengan bahasa yang sederhana


2.      Kelas 2
Kompetensi Inti
Kompetensi Dasar
1.      Menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya

2.      Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, dan guru
2.1  Menunjukkan perilaku patuh, tertib dan mengikuti aturan dalam melakukan penjumlahan dan pengurangan sesuai secara efektif dengan memperhatikan nilai tempat ratusan, puluhan dan satuan
2.2  Menunjukkan perilaku peduli pada orang lain dengan cara mengelola penggunaan uang saku untuk kepentingan konsumsi, menabung dan beramal
2.3   Menunjukkan perilaku adil dalam membagikan sejumlah benda kepada beberapa orang dalam menerapkan konsep pembagian
2.4  Menunjukkan perilaku disiplin tepat waktu dalam melakukan suatu aktivitas di sekolah dengan memperhatikan alat ukur waktu
2.5  Menunjukkan perilaku rapi dan teratur dalam menggambar dan menata benda-benda sesuai dengan pola-pola perulangan geometri yang ditemui di dalam kelas, sekolah, atau lingkungan.
2.6  Menunjukkan perilaku cermat dan jujur dalam mendata hasil pengukuran panjang atau berat suatu benda

3.      Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati [mendengar, melihat, membaca] dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah dan di sekolah
3.1  Mengenal bilangan asli sampai 500 dengan menggunakan blok dienes (kubus satuan), pengelompokan dan benda-benda di sekitar rumah, sekolah, atau tempat bermain
3.2  Mengenal operasi perkalian dan pembagian pada bilangan asli yang hasilnya kurang dari 100 melalui kegiatan eksplorasi menggunakan benda konkrit
3.3  Mengenal nilai tukar antar pecahan uang
3.4  Mengetahui ukuran lama waktu di kehidupan sehari-hari di rumah, sekolah dan tempat bermain dengan menggunakan satuan waktu
3.5  Mengetahui ukuran panjang dan berat benda, jarak suatu tempat di kehidupan sehari-hari di rumah, sekolah dan tempat bermain mengunakan satuan tidak baku dan satuan baku
3.6  Menentukan nilai terkecil dan terbesar dari hasil pengukuran panjang atau berat yang disajikan dalam bentuk tabel sederhana


3.      Kelas 3
Kompetensi Inti
Kompetensi Dasar
1.      Menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya

2.      Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, guru dan tatangganya
2.1  Menunjukkan perilaku patuh, tertib dan mengikuti aturan dalam melakukan penjumlahan dan pengurangan, perkalian dan pembagian bilangan asli, bilangan bulat dan pecahan dengan memperhatikan nilai tempat ribuan, ratusan, puluhan dan satuan
2.2  Menunjukkan perilaku teliti dan rapi dengan menata benda-benda di sekitar dengan cara melipat rapi dengan memperhatikan simetri lipatnya
2.3  Menunjukkan perilaku adil dalam membagikan satu potong atau beberapa potong kue, buah dan sejenisnya kepada sejumlah orang dalam menerapkan konsep pecahan
2.4  Menunjukkan perilaku disiplin dan tepat waktu datang ke sekolah dengan memperhatikan alat ukur waktu
2.5  Menunjukkan perilaku cermat dan teliti dalam mentabulasi hasil pengukuran tinggi badan teman sekelas

3.      Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati [mendengar, melihat, membaca] dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah dan di sekolah
3.1  Memahami sifat-sifat operasi hitung bilangan asli melalui pengamatan pola penjumlahan dan perkalian
3.2  Memahami letak bilangan pada garis bilangan
3.3  Memahami konsep pecahan sederhana menggunakan benda-benda yang konkrit/gambar, serta menentukan nilai terkecil dan terbesar
3.4  Menemukan sifat simetri bangun datar (melalui kegiatan menggunting dan melipat atau cara lainnya), simetri putar dan pencerminan menggunakan benda-benda konkrit
3.5  Menemukan unsur dan sifat bangun datar sederhana berdasarkan pengamatan
3.6  Mengetahui perbandingan data menggunakan tabel, grafik batang, dan grafik kue serabi
3.7  Mengenal hubungan antar satuan waktu, antar satuan panjang, dan antar satuan berat yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari
3.8  Menentukan strategi pemecahan masalah dengan mengurangi, menambah, dan menukarkan sejumlah uang


B.     Teori Belajar Matematika
Dalam pembelajaran matematika, guru perlu memahami teori-teori belajar.  Yang nantinya itulah yang dijadikan pedoman dalam membuat suatu metode pembelajaran. Ada beberapa teori-teori pembelajaran matematika di SD yang diungkapkan oleh para ahli.
1.      Teori Belajar Menurut Jerome S. Brunner
Teori ini menyatakan bahwa : “Belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran di arahkan kepada konsep-konsep dan stuktur yang termuat dalam pokok bahasan yang diajarkan dan dengan menggunakan alat peraga serta diperlukannya keaktifan siswa tersebut.”
Brunner mengemukakan bahwa dalam proses belajar siswa melewati 3 tahap yaitu :
a.       Tahap Enaktif
Dalam tahap ini siswa secara langsung terlibat dalam memanipulasi objek. Yaitu dengan menggunakan benda-benda yang konkrit atau peritiwa yang biasa terjadi.
Contoh            : Budi mempunyai 2 pinsil, kemudian ibunya memberikannya lagi 3 pinsil. Berapa banyak pinsil Budi sekarang ?
b.      Tahap Ikonik
Dalam tahap ini kegiatan dilakukan siswa berhubungan dengan mental, di mana siswa mengubah, menandai, dan menyimpan peristiwa atau benda dalam bentuk bayangan mental. Misalnya dengan membayangkan dalam pikirannya tentang benda atau peristiwa yang dialaminya, walaupun benda tersebut tidak ada dihadapannya lagi atau dengan menggunakan gambar. Contoh  :  !! + !!! = …
c.       Tahap Simbolik
Dalam tahap ini anak dapat mengutarakan bayangan mental tersebut dalam bentuk simpul dan bahasa. Anak tidak terikat lagi dengan objek-objek pada tahap sebelumnya dan sudah mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap objek real.
Contoh  : 2 pinsil + 3 pinsil     = …pinsil
Berdasarkan hasil pengamatannya, Brunner merumuskan 5 teorema dalam pembelajaran matematika, yaitu :
1)      Teorema Penyusunan
Menerangkan bahwa cara yang terbaik memulai belajar suatu konsep matematika, dalil, defenisi, dan semacamnya adalah dengan cara menyusun penyajiannya. Misalnya dalam mempelajari penjumlahan bilangan positif dan negatif siswa mencoba sendiri dengan menggunakan garis bilangan.
2)      Teorema Notasi
Menerangkan bahwa dalam pengajaran suatu konsep, penggunaan notasi-notasi matematika harus diberikan secara bertahap, dari yang sederhana ke yang lebih kompleks.
3)      Teorema Pengkontrasan dan Keanekaragaman
Menerangkan bahwa pengontrasan dan keanekaragaman sangat penting dalam melakukan pengubahan konsep matematika dari yang konkrit ke yang lebih abstrak. Dalam hal ini diperlukan banyak contoh. Contoh yang diberikan harus sesuai dengan rumusan yang diberikan. Misalnya menjelaskan persegi panjang, disertai juga kemungkinan jajaran genjang dan segi empat lainnya selain persegi panjnag. Dengan demikian siswa dapat membedakan apakah segi empat yang diberikan padanya termasuk persegi panjang atau tidak.
4)      Teorema Pengaitan
Menerangkan bahwa dalam matematika terdapat hubungan yang berkaitan antara satu konsep dengan konsep yang lain. Di mana materi yang satu merupakan prasyarat yang harus diketahui untuk mempelajari materi yang lain.




2.      Teori Belajar Menurut Van Hiele
Teori ini menyatakan bahwa : “Tiga unsur utama dalam pengajaran geometri, yaitu waktu, materi pengajaran dan metode pengajaran yang diterapkan, jika secara terpadu akan dapat meningkatkan kemapuan berfikir siswa kepada tingkatan berfikir yang lebih tinggi.”
Van Hiele menyatakan bahwa terdapat 5 tahap belajar siswa dalam belajar geometri, yaitu :
a.       Tahap Pengenalan
Pada tahap ini siswa mulai belajar mengenal suatu bangun geometri secara keseluruhan namun belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat dari bangun geometri yang dilihatnya.
b.      Tahap Analisis
Pada tahap ini siswa sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki bangun geometri yang diamatinya.
c.       Tahap Pengurutan
Pada tahap ini siswa sudah mengenal dan memahami sifat-sifat suatu bangun geometri serta sudah dapat mengurutkan bangun-bangun geometri yang satu sama yang lainnya saling berhubungan.
d.      Tahap Deduksi
Pada tahap ini siswa telah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan yang bersifat umum dan menuju ke hal yang bersifat khusus serta dapat mengambil kesimpulan.
e.       Tahap Akurasi
Pada tahap ini siswa  mulai menyadari pentingnya ketepatan prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Tahap berfikir ini merupakan tahap berfikir yang paling tinggi, rumit, dan kompleks, karena di luar jangkauan usia anak-anak SD sampai tingakat SMP.
3.      Teori Belajar Menurut William Brownell
Teori ini menyatakan bahwa : “Belajar matematika merupakan belajar bermakna, dalam arti setiap konsep yang dipelajari harus benar-benar dimengerti sebelum sampai pada latihan atau hafalan.”
Brownell mengemukakan tentang Teori Makna (Meaning Theory) sebagai pengganti Teori Latihan Hafal/Ulangan (Drill Theory).  Intisari dari teori Drill adalah :
a.       Matematika untuk tujuan pembelajaran dianalisis sebagai kumpulan fakta yang berdiri sendiri dan tidak saling berkaitan.
b.      Anak diharuskan menguasai unsur-unsur yang banyak sekali tanpa diperhatikan pengertiannya.
c.       Anak mempelajari unsur-unsur dalam bentuk seperti yang akan digunakan nanti dalam kesempatan lain.
d.      Anak akan mencapai tujuan ini secara efektif dan efisien dengan melalui pengulangan.
Brownell mengemukakan ada 3 keberatan utama berkenaan dengan teori Drill dalam pengajaran matematika, yaitu :
1)      Teori drill memberikan tugas yang harus dipelajari siswa yang hampir tidak mungkin dicapai.
2)      Keberatan yang lainnya berkaitan dengan reaksi yang dihasilkan oleh drill.
3)      Tidak memadai dalam pengajaran aritmatika, karena tidak menyediakan kegiatan untuk berfikir secara kuantitatif.
Sedangkan intisari dari teori makna adalah :
a)      Anak harus melihat makna dari apa yang dipelajarinya.
b)      Teori drill dipakai setelah konsep, prisip, dan proses telah dipahami oleh siswa.
c)      Mengembangkan kemampuan berfikir dalam situasi kuantitatif.
d)     Program aritmatika membahas tentang pentingnya dan makna dari bilangan.
4.      Teori Belajar Menurut Van Eugen
Teori ini menyatakan bahwa : “Tujuan pengajaran aritmatika adalah untuk membantu anak memahami suatu simbol yang mewakili suatu himpunan, kejadian, dam serentetan kegiatan yang diberi simbol itu harus langsung dialami oleh anak.”
Van Eugen (1949), seorang penganut teori makna mengatakan bahwa dalam situasi yang bermakna selalu terdapat 3 unsur, yaitu :
a.       Ada suatu kejadian (event), benda (object), atau tindakan (action).
b.      Adanya simbol (lambang/notasi/gambar) yang digunakan sebagai penyataan yang mewakili unsur pertama di atas.
c.       Adanya individu yang menafsirkan simbol-simbol yang mengacu kepada unsur pertama di atas.
Van Eugen membedakan makna (meaning) dan mengerti (understanding),. Mengerti mengacu pada sesuatu yang dimiliki oleh individu. Individu yang mengerti telah memiliki hubungan sebab akibat, implikasi logis dan sebaris pemikiran yang mengandungkan dua atau lebih pernyataan secata logis makna adalah sesuatu yang dibaca dari sebuah simbol oleh seorang anak. Dengan kata lain anak menyadari bahwa simbol adalah sesuatu pengganti suatu objek.
5.      Teori Belajar Menurut Prof. Robert M. Gagne
Teori ini menyatakan bahwa : “Dalam pembelajaran matematika di SD diperlukan objek belajar matematika dan tipe-tipe belajar.”
a.       Objek Belajar Matematika
Menurut Gagne bahwa dalam belajar matematika dua objek yaitu objek langsung dan objek tidak langsung. Objek tidak langsung mencangkup kemampuan menyelidik, memecahkan masalah, disiplin diri, bersikap positif, dan tahu bagaimana semestinya belajar.
b.      Tipe-Tipe Belajar
Telah dibedakan ke dalam 8 tipe belajar yang terurut kesukarannya dari yang sederhana sampai kepada yang kompleks. Urutan ke 8 tipe belajar itu adalah :
1)      Belajar isyarat (signal learning), yaitu belajar sesuatu yang tidak disengaja.
2)      Belajar stimulus respon (stimulus responses learning), yaitu belajar sesuatu dengan sengaja dan responnya adalah jasmani.
3)      Rangkaian gerak (motor learning), yaitu belajar dalam bentuk perbuatan jasmaniah terurut dari dua kegiatan atau lebih stimulus respon.
4)      Rangkaian verbal, yaitu berupa perbuatan lisan terurut dari dua kegiatan atau lebih stimulus respon.
5)      Belajar membedakan, yaitu belajar memisahkan rangkaian yang bervariasi. Ada dua macam belajar membedakan, yaitu :
a.       Membedakan tunggal, yaitu berupa pengertian siswa terhadap suatu lambang.
b.      Membedakan jamak, yaitu membedakan beberapa lambang tertentu.
6)      Belajar konsep ( concept learning), yaitu belajar atau melihat sifat bersama dari suatu benda atau peristiwa.
7)      Belajar aturan (rule learning), yaitu memberikan respon terhadap semua stimulus dengan segala macam perbuatan.
8)      Pemecahan masalah (problem solving), yaitu masalah bagi siswa bila sesuatu itu baru dikenalnya tetapi siswa telah memiliki prasyarat hanya siswa belum tahu proses algoritmanya.
6.      Teori Belajar Menurut Zoltan P. Dienes
Teori ini menyatakan bahwa : “Tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang konkrit akan dapat dipahami dengan baik dan benda atau objek dalam bentuk pemainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.”
Dalam konsepnya itu, Dienes membagi tahap-tahap belajar dalam 6 tahap, yaitu :
a.       Permainan Bebas (Free Play)
Yaitu dengan melakukan aktifitas yang tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Di mana siswa mengadakan percobaan yang mengotak-atik benda-benda konkrit dan abstrak dari unsur yang sedang dipelajarinya itu.
b.      Permainan yang Disertai Aturan (Games)
Siswa meneliti pola-pola dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu.
c.       Permainan Kesamaan Sifat (Searching for comunities)
Siswa diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti.
d.      Representasi (Representasi)
Yaitu tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Para siswa menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu yang bersifat abstrak. Dengan demikian telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang sifatnya abtrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari.
e.       Simbolisasi (Symbolization)
Yaitu merumuskan representasi dari setiap konsep dengan menggunakan simbol matematika.
f.       Formalisasi (Formalization)
Dalam hal ini siswa dituntut untuk menurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut.
7.      Teori Belajar Menurut Jean Peaget
Teori ini menyatakan bahwa : “Jika kita akan memberikan pelajaran tentang sesuatu kepada anak didik, maka kita harus memperhatikan tingkat perkembangan berfikir anak tersebut.”
Dengan teori belajar yang disebut Teori Perkembangan Mental Anak (Mental atau Intelektual dan Kognitif) atau ada pula yang menyebutnya Teori Tingkat Perkembangan Berfikir Anak telah membagi tahapan kemampuan berfikir anak menjadi empat tahapan yaitu :
a.       Tahap sensori motorik (dari lahir sampai usia 2 tahun)
b.      Tahap operasional awal/piaoperasi (usia 2 sampai 7 tahun)
c.       Tahap operasional/operasi konkrit (usia 7 sampai 11/12 tahun)
d.      Tahap operasional formal (usia 11 tahun ke atas)
Jadi, agar pelajaran matematika di SD dapat dimengerti oleh para siswa dengan baik, maka seyogianya mengajarkan sesuatu bahasan harus diberikan kepada siswa yang sudah siap untuk dapat menerimanya.
Tahapan perkembangan intelektual atau berfikir siswa di SD dalam Pembelajran Matematika yaitu :
1)      Kekekalan Bilangan (Banyak)
Bila anak telah memahami kekekalan bilangan, amak ia akan mengerti bahwa banyaknya benda-benda itu akan tetap walaupun letaknya berbeda-beda. Konsep kekekalan bilangan umumnya dicapai oleh siswa usia 6 sampai 7 tahun.
2)      Kekekalan Materi (Zat)
Anak baru bisa memahami yang sama atau berbeda itu dari satu sudut pandang yang tampak olehnya. Belum bisa melihat perbedaan atau persamaan dari dua karakteristik atau lebih. Hukum kekekalan materi umumnya dicapai oleh siswa usia 7 sampai 8 tahun.
3)      Kekekalan panjang
Konsep kekekalan panjang umumnya dicapai oleh siswa usia 8 sampai 9 tahun.
4)      Kekekalan luas
Hukum kekekalan luas umumnya dicapai oleh siswa usia 8 sampai 9 tahun.

5)      Kekekalan berat
Hukum kekekalan  berat umumnya dicapai oleh siswa usia 9 sampai 10 tahun.
6)      Kekekalan isi
Usia sekitar 14-15 tahun atau 11-14 tahun anak sudah memiliki hukum kekekalan isi.
7)      Tingkat pemahaman
Tingkat pemahaman di usia SD masih mengalami kesulitan merumuskan defenisi dengan kata-katanya sendiri. Mereka belum dapat membuktikan dalil secara baik.
8.      Teori Belajar Menurut Edward L. Thondike
Teori belajar ini menyatakan bahwa : “Pada hakekatnya belajar merupakan proses pembentukan hubungan antara stimulus dan respon dan belajar lebih berhasil bila respon siswa terhadap suatu stimulus segera diikuti dengan rasa senang atau kepuasan.
C.    Pendekatan Pembelajaran Matematika
Supaya pembelajaran matematika dapat berlangsung dengan baik, perlu digunakan beberapa pendekatan. Setiap pendekatan memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing sehingga setiap pendekatan perlu digunakan dan disesuaikan dengan kebutuhan. Ada banyak pendekatan dalam pembelajaran, akan tetapi di sini akan dipaparkan tiga pendekatan saja, yakni Pendekatan Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning / CTL), Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem-Based Learning / PBL), dan Pendekatan Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning / CL). Pemilihan ketiga pendekatan tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa ketiga pendekatan tersebut lebih relevan digunakan dalam pembelajaran matematika.
1.      Pendekatan Pembelajaran Kontekstual
Pendekatan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning / CTL) merupakan konsep pembelajaran yang mengaitkan bahan pelajaran dengan lingkungan atau situasi nyata siswa sehingga pembelajaran tersebut sungguh-sungguh dapat dipahami oleh siswa.


Zahorik (1995), mengemukakan alasan mengapa pendekatan kontekstual menjadi pilihan yang relevan saat ini. “Knowledge is constructed by humans. Knowledge is not a set of facts, concepts, or laws waiting to be discovered. It is not something that exists independent of a knower. Humans create or construct  as they attempt to bring meaning to their experience. Everything that we know, we have made”
Purnomo (2006), dalam hand-out Lokakarya Kepala SD Katolik Daerah Istimewa Yogyakarta tanggal 16 Agustus 2006, mengemukakan tujuh kecenderungan pemikiran dasar tentang belajar. Pemilihan pendekatan konstekstual didasarkan atas kecenderungan tersebut.
a.       Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkonstruksi pengetahuan di benak mereka sendiri.
b.      Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru.
c.       Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang suatu persoalan (subject matter).
d.      Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proporsi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.
e.       Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru.
f.       Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang baru bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
g.      Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang. Untuk itu perlu dipahami, strategi belajar yang salah dan terus-menerus diapajankan akan mempengaruhi struktur otak, yang pada akhirnya mempengaruhi cara seseorang berperilaku.
Menurut Susento (2007), pendekatan pembelajaran konstekstual dilaksanakan oleh guru melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
1)      Kegiatan Mengkonstruksi Pengetahuan
a.       Menciptakan lingkungan, sarana, dan bahan yang memungkinkan siswa sebanyak mungkin belajar sendiri di bawah bimbingan guru.
b.      Memberi siswa pengalaman nyata yang melibatkan mereka secara aktif.

2)      Kegiatan Penyelidikan (Inquiry)
a.       Mendorong siswa untuk menemukan, merumuskan, dan menganalisis (mengolah) masalah.
b.      Meberikan banyak kesempatan kepada siswa untuk menyajikan atau mengkomunikasikan hasil belajar melalui berbagai cara seperti tulisan, gambar, laporan, bagan, dan tabel.
3)      Kegiatan Bertanya:
a.       Membangkitkan rasa ingin tahu siswa.
b.      Membangkitkan minat siswa untuk bertanya mengenai masalah yang dihadapi  atau bahan yang dipelajari.
4)      Kegiatan Komunitas Belajar (Learning Community)
a.       Menciptakan suasana diskusi antarsiswa.
b.      Mendorong siswa menggunakan berbagai sumber belajar yang ada di sekitar mereka.
5)      Kegiatan Pemodelan
a.       Menampilkan lebih dari satu macam model cara menemukan/mengerjakan sesuatu, sehingga dapat memahami, membandingkan, atau menemukan alternatif.
b.      Menunjukkan contoh orang atau karya orang.
6)      Kegiatan Refleksi
a.       Menyediakan waktu agar siswa mempunyai kesempatan untuk refleksi tentang proses atau hasil belajar.
b.      Memandu siswa melakukan refleksi melalui pertanyaan-pertanyaan bantuan.
7)      Kegiatan Penilaian Otentik
a.       Menilai kinerja (unjuk kerja/performance) siswa.
b.      Mengobservasi (mengamati) pengaruh kegiatan pembelajaran yang sedang/telah dilaksanakan terhadap perilaku dan sikap siswa.
c.       Menilai portofolio siswa. Portofolio adalah kumpulan karya siswa selama jangka waktu tertentu, yang menggambarkan keterampilan, gagasan, minat, dan prestasi siswa, yang wujudnya berupa tulisan, gambar, benda, atau model fisik.
d.      Mencermati jurnal siswa. Jurnal adalah ungkapan hasil refleksi pribadi siswa mengenai proses dan hasil belajarnya, yang dituangkan dalam bentuk tulisan, gambar, atau bentuk lainnya.
Contoh pembelajaran kontekstual:
Di kelas III semester 2 guru hendak mengajarkan cara menghitung luas persegi dan persegi panjang. Dalam hal ini, guru jangan langsung mengemukakan rumus luas persegi. Guru sebaiknya mengenalkan contoh-contoh persegi dan persegi panjang, seperti ubin, buku, pintu, dan lain-lain. Siswa diminta menyebutkan contoh-contoh lain  yang langsung terdapat di dalam kelas yang bisa disentuh atau dilihat. Setelah itu, guru menunjukkan alat peraga yang mempresentasikan persegi dan persegi panjang. Tahap selanjutnya adalah mengenalkan defenisi persegi dan persegi panjang. Setelah siswa mengenal persegi dan persegi panjang, siswa diajak menghitung luas persegi dengan bantuan alat peraga.























Contoh:
a.       Gambar apakah di atas ini? Apakah itu gambar persegi atau persegi panjang? Mengapa?
b.      Berapa satuan luasnya?
Dengan kegiatan seperti ini, siswa akan mampu membedakan persegi dan persegi panjang. Setelah menghitung luas bangun-bangun yang sama secara berulang-ulang, siswa akan mengetahui sendiri bahwa ternyata luas bangun persegi panjang adalah p x l tanpa diberitahu oleh guru.
Pembelajaran kontekstual sangat cocok diterapkan karena siswa akan lebih mudah memahami sesuatu bila dia melihat secara langsung obyek yang dipelajari. Hal ini sejalan dengan tahap perkembangan anak.
2.      Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah
Pendekatan pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning / PBL) merupakan konsep pembelajaran yang proses belajarnya dimulai dengan menyajikan masalah yang sesuai dengan situasi / perkembangan cara berfikir siswa sehingga siswa memperoleh pengalaman belajar yang lebih nyata dan berkesan. Perlunya penerapan pendekatan pembelajaran ini dilatarbelakangi oleh realita bahwa seseorang umumnya berpikir dalam konteks memecahkan masalah. Masalah itu sendiri adalah kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan apa yang ada. Seseorang juga akan lebih berminat mengerjakan sesuatu kalau situasi sesuatu itu tidak seperti yang diharapknnya atau berada dalam lingkup masalah yang dihadapinya.
Susento (2007), dalam hand-out mata kuliah Pendidikan Matematika SD II, mengemukakan lima langkah yang seharusnya dilakukan guru dalam proses pembelajaran berbasis masalah.
a.       Persiapan
Menyusun masalah yang akan dijadikan titik pangkal (starting point) pembelajaran. Masalah yang dipilih adalah masalah yang relevan dengan tingkat intelektual siswa. Masalah tersebut juga terkait atau mengarah kepada pada bahan pelajaran.
b.      Orientasi
1)      Menyajikan masalah di kelas.
2)      Membangkitkan ketertarikan atau rasa ingin tahu siswa kepada masalah.
3)      Memberi kesempatan kepada siswa
c.       Eksplorasi
Memberi kesempatan kepada siswa untuk memecahkan masalah dengan strategi yang diciptakan oleh siswa sendiri. Masalah boleh dipecahkan secara individual atau kelompok. Guru berperan sebagai motivator dan pemberi bantuan atau saran sejauh diperlulan. Guru juga berperan sebagai pendengar yang penuh perhatian.

d.      Negoisasi
Mendorong para siswa untuk mengkomunikasikan dan mendiskusikan proses dan hasil pemecahan masalah, sehingga diperoleh gagasan-gagasan atau tindakan-tindakan yang dapat diterima oleh seluruh siswa.
e.       Integrasi
1)      Memandu siswa untuk merefleksikan proses pemecahan masalah.
2)      Mengidentifikasi dan merumuskan hasil-hasil belajar yang diperoleh dari kegiatan pemecahan masalah.
3)      Mengaitkan hasil-hasil belajar itu dengan pengetahuan sebelumnya, sehingga tersusun jaringan/organisasi pengetahuan yang baru.
Contoh pembelajaran berbasis masalah:
Di kelas II semester 2 guru hendak mengajarkan pembagian bilangan dua angka. Dalam hal ini, guru jangan mengajarkan konsep pembagian dengan cara konvensional. Cara yang lazim digunakan guru-guru pada zaman dulu hingga sekarang ini adalah sebagai berikut:
a.       15 : 3 = ….?
15 : 3 = 15 – 3 – 3 – 3 – 3 – 3 
(Guru memberi contoh dengan cara mengurangkan bilangan 15 dengan bilangan 3  berturut-turut hingga bilangan 15 habis atau bernilai nol. Dari contoh di atas diketahui bahwa bilangan 15 dapat habis dikurangi dengan bilangan 3 sampai lima kali).
Jadi, 15 : 3 = 5.
Memang cara di atas mudah dan praktis. Tapi perlu diingat bahwa cara seperti adalah abstrak dan mungkin akan mudah dipahami oleh siswa yang memiliki tingkat intelegensi (IQ) tinggi saja. Cara tersebut juga tidak akan berbekas di ingatan jangka panjang siswa. Hal ini terbukti, ketika siswa kelak disodorkan dengan soal yang lebih rumit, misalnya 60 : 3 = …, maka dapat dipastikan banyak siswa tidak akan mampu atau merasa kesulitan untuk menemukan jawabannya.
Ada baiknya guru berusaha untuk menggunakan pendekatan berbasis masalah, caranya dengan memberikan masalah terlebih dahulu sebelum guru menjelaskan konsep pembagian dua angka. Masalah yang diberikan guru adalah masalah yang benar-benar dikenal siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mengajarkan konsep pembagian 15: 3 = …, guru menyajikan pertanyaan sederhana dengan bantuan alat peraga. Misalnya, guru menunjukkan 15 buah pensil dan meminta 3 orang siswa maju ke depan kelas. Setelah itu, guru berkata:  “Anak-anak, tolong bantu Bapak untuk membagi 15 pensil ini kepada setiap anak yang di depan kelas. Setiap anak mendapat jumlah pensil yang sama banyaknya. Berapa buah pensil yang akan diterima masing-masing anak?”
Biarkan anak-anak berpikir sendiri dalam menemukan jawabannya. Mungkin ada anak mencoba memberikan pensil kepada ketiga anak satu persatu. Misalkan saja ketiga anak itu adalah Siska, Tina, dan Rina. Budi mencoba memberikan pensil itu satu per satu kepada Siska, Tina, dan Rina. Dia melakukan kegiatan yang sama hingga semua pensil habis. Dari kegiatan itu, dia menemukan bahwa pensil itu habis terbagi ketika setelah dia lima kali berulang-ulang membagikan pensil. Mungkin juga ada anak yang memberikan 5 buah pensil sekaligus kepada setiap anak, dan mungkin saja ada cara lain yang ditemukan anak.
Dari cara-cara yang ditemukan anak, guru bertanya:  “Anak-anak, cara siapa yang paling mudah? Mengapa cara si Anu lebih mudah? Berapa jawaban pembagian    15 : 3?” Kemudian guru mengajak siswa menemukan jawaban atas pertanyaan lain. Kegiatan serupa perlu dilakukan secara berulang-ulang. “Dengan berlatih, anak yang telah siap belajar akan menunjukkan kemajuan – walaupun berangsur-angsur” (Hurlock, 1978: 31). Dari kegiatan ini, siswa akan mengetahui dan memahami konsep pembagian yang “sesungguhnya” tanpa perlu diljelaskan dengan cara konvensional dan contoh-contoh yang abstrak.

3.      Pendekatan Pembelajaran Kooperatif
Pendekatan pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran yang memanfaatkan kerjasama kelompok untuk menyelesaikan masalah. Selama ini, guru secara tidak sadar telah “merusak” kepekaan hati atau empati para siswa. Guru sering “melarang” seorang siswa bertanya kepada siswa lain pada saat proses pembelajaran berlangsung dengan dalih tidak boleh menjiplak atau mencontoh jawaban teman. Akibatnya, sikap egois semakin berakar dalam hati setiap siswa.
Perlu juga diingat bahwa bentuk kerjasama itu tidak hanya diskusi, masih ada bentuk kerjasama lain seperti presentasi kelompok, kerja kelompok, penugasan kelompok, dan lain-lain. Semua bentuk kerjasama ini bisa digunakan sesuai kebutuhan dan situasi.
Beberapa pertimbangan pemilihan pendekatan ini adalah sebagai berikut.
a.       Setiap siswa adalah individu yang unik, artinya berbeda satu sama lain, baik dalam latar belakang kehidupan, prestasi, cara berfikir, dan cita-cita.  Situasi ini sangat mendukung pembelajaran karena belajar selalu membutuhkan variasi konteks.
b.      Dengan belajar dalam kelompok, setiap orang akan saling melengkapi. Misalnya, siswa A tidak berani mengutarakan gagasannya secara lisan, mungkin akan dibantu oleh siswa B yang berani berbicara di depan kelas. Misalnya lagi, siswa C tidak pandai berhitung, akan dibantu oleh siswa siswa D yang cerdas.
c.       Dalam pembelajaran kooperatif, setiap siswa akan berusaha mengembangkan kecerdasan interpersonalnya (kemampuan bergaul dan bekerjasama, memiliki kepekaaan perasaan atau empati, dan lain sebagainya).
Susento (2007), dalam hand-out matakuliah Pendidikan Matematika SD II, mengemukakan lima tehnik pendekatan pembelajaran kooperatif, yaitu sebagai berikut:



1)      Tehnik Sebaran Prestasi
Siswa dalam kelompok yang terdiri atas empat atau lima siswa mengerjakan soal latihan di lembar kerja. Anggota kelompok adalah siswa yang memiliki prestasi yang berbeda-beda, misalnya satu orang yang berkemampuan tinggi, satu orang yang berkemampuan sedang, dan yang lainnya yang berkemampuan rendah. Setelah semua kelompok selesai bekerja, guru memberi kunci jawaban soal dan meminta siswa memeriksa hasil pekerjaan kelompoknya sendiri. Setelah itu, guru memberikan ulangan.
2)      Tehnik Susun Gabung
Dalam kelompok, tiap-tiap siswa mempelajari satu bagian materi pelajaran. Setelah semua selesai mempelajari materi yang diterimanya, kemudian masing-masing siswa menjelaskan kembali kepada siswa lain dalam kelompoknya. Setelah selesai, guru memberikan ulangan sesuai materi yang dipelajari siswa.
3)      Tehnik Penyelidikan Berkelompok
Tiap-tiap kelompok mempelajari satu bagian materi pelajaran dan kemudian menjelaskan bagian itu kepada semua siswa di kelas.
4)      Tehnik Cari Pasangan
Tiap siswa di kelas memperoleh satu lembar kartu. Tiap kartu berisi satu bagian materi pelajaran. Tiap-tiap siswa harus mencari siswa lain yang memiliki kartu yang berkaitan dengan isi kartunya. Para siswa yang isi kartunya berkaitan berkelompok dan mendiskusikan keseluruhan materi.
5)      Tehnik Tukar Pasangan
Siswa berkelompok mengerjakan soal latihan dalam lembar kerja. Kemudian berganti kelompok dan mendiskusikan hasil kerja dari kelompok semula.
Contoh Pendekatan Pembelajaran Kooperatif:
Guru kelas IV semester 1 hendak mengajarkan Kelipatan Persekutuan Terkecil. Dalam hal ini, guru jangan mengajarkan konsep terlebih dahulu. Biarkan siswa dalam kelompok bekerjasama untuk menyelesaikan masalah. Cara konvensional yang sering digunakan guru-guru adalah seperti berikut ini:

Contoh: 
a)      Kelipatan 2, yakni 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14,…
b)      Kelipatan 3, yakni 3, 6, 9, 12, 15,…
Jadi KPK dari 2 dan 3 adalah 6.
Setelah mengajarkan satu contoh, guru kemudian memberikan soal latihan dan ulangan yang soalnya mirip dengan contoh yang diberikan guru.
Cara ini memang sangat praktis dan tidak menyita waktu. Tetapi cara ini sangat tidak cocok dengan tingkat perkembangan intelektual siswa karena bersifat abstrak. Guru sebaiknya menggunakan pendekatan kooperatif sebagai alternatif dan variasi. Berikut ini adalah contoh dari salah satu tehnik yang dipaparkan di atas. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1)      Langkah I:
Guru membagi kelas dalam beberapa kelompok. Pembagian ini didasarkan atas kartu yang diterima oleh setiap siswa. Misalnya,
Kelompok 1: Gambar daun (yang terdiri atas gambar 4, 6, dan 8 helai daun). Petunjuk yang diberikan untuk setiap siswa yang mendapat kartu bergambar daun supaya terbentuk kelompok 1 adalah : cari temanmu yang memiliki kartu bergambar daun dua kali lebih banyak, tiga kali lebih banyak, atau 4 kali lebih banyak dari yang dimilikinya.
Hai, aku di sini. Aku punya gambar daun empat helai. Kamu mencari aku kan? Akulah pasanganmu.
Cari pasanganmu yang memiliki kartu bergambar daun dua kali lebih banyak dari punyamu!
§ §                                § § § §
Pasangannya adalah 
Hai, aku di sini. Aku punya gambar daun enam helai. Kamu mencari aku kan? Akulah pasanganmu.
Cari pasanganmu yang memiliki kartu bergambar daun tiga kali lebih banyak dari punyamu!
§ §                              §§§§§§
Pasangannya adalah
Gambar selanjutnya juga mencari pasangan yang memiliki jumlah daun empat kali lebih banyak dari yang dimilikinya.
Hai, aku di sini. Aku punya gambar daun enam helai. Kamu mencari aku kan? Akulah pasanganmu. Weh, weh…!
Cari pasanganmu yang memiliki kartu bergambar daun empat kali lebih banyak! punyamu!
§ §                         §§§§§§§§
Pasangannya adalah
Jadi, kelompok 1 yang terbentuk adalah terdiri atas enam orang siswa yang sama-sama memiliki kartu bergambar daun. Tanpa sadar siswa-siswa yang tergabung dalam  kelompok 1 telah belajar kelipatan 2, dan cara ini akan lebih menyenangkan karena melibatkan gerak fisik.  
Kelompok 2:  Gambar apel (yang terdiri atas gambar 6, 9, dan 12 buah apel). Petunjuk yang diberikan adalah: carilah temanmu yang memiliki kartu bergambar apel dua, tiga,  atau empat kali lebih banyak dari punyamu.
Kelompok 3 : Gambar bunga (silahkan diatur menurut selera guru).
Kelompok 4: …
Setelah semua siswa berkelompok, selanjutnya guru melaksanakan langkah II.
2)      Langkah II:
Guru meminta beberapa siswa maju ke depan kelas. Lalu guru membagikan photocopy uang dengan nilai nominal yang berbeda. Guru memberi instruksi seperti ini : “Siapa yang memiliki uang dua, tiga, empat, atau lima kali lebih banyak dari yang Bapak tunjukkan, silahkan angkat tangan dan tunjukkan kepada semua teman di kelas!”.
3)      Langkah III:
Guru meminta siswa mengamati urutan jumlah gambar kartu yang dimilikinya, lalu salah satu siswa dari setiap kelompok menuliskannya di papan tulis.
4)      Langkah IV:
Pada langkah ini, guru boleh mengajarkan konsep KPK berdasarkan urutan jumlah yang dituliskan siswa. Guru boleh memberi contoh-contoh lain. Setelah semua siswa memahami konsep KPK, guru memberikan latihan yang akan dibahas siswa dalam kelompoknya.

D.    Metode Pembelajaran Matematika
1.      Pengantar
Apabila kita ingin mengajarkan matematika kepada anak / peserta didik dengan baik dan berhasil pertam-tama yang harus diperhatikan adalah metode atau cara yang akan dilakukan, sehingga sasaran yang diharapkan dapat tercapai atau terlaksana dengan baik, karena metode atau cara pendekatan yang dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan. Dengan demikian jika pengetahuan tentang metode dapat mengklasifikasikannya dengan tepat maka sasaran untuk mencapai tujuan akan semakin efektif dan efisien.
Metode mengajar yang diterapkan dalam suatu pengajaran dikatakan efektif bila menghasilkan sesuatu sesuai dengan yang diharapkan atau dapat dikatakan tujuan telah tercapai, bila semakin tinggi kekuatannya untuk menghasilkan sesuatu semakin efektif pula metode tersebut. Sedangkan metode mengajar dikatakan efisien jika penerapannya dalam menghasilkan sesuatu yang diharapkan itu relatif menggunakan tenaga, usaha pengeluaran biaya, dan waktu minimum, semakin kecil tenaga, usaha, biaya, dan waktu yang dikeluarkan maka semakin efisien metode itu.
Metode atau cara yang diharapkan dapat terlaksana dengan baik, jika materi yang diajarkan dirancang telebih dahulu. Dengan kata lain bahwa untuk menerapkan suatu metode atau cara dalam pembelajaran matematika sebelumnya harus menyusun strategi belajar mengajar, dan akhirnya dapat dipilih alat peraga atau media pembelajaran sebagai pendukung materi pelajaran yang akan diajarkan.
2.      Memilih Metode Pembelajaran yang Efektif
Perkembangan mental peserta didik di sekolah, antara lain, meliputi kemampuan untuk bekerja secara abstraksi menuju konseptual. Implikasinya pada pembelajaran, harus memberikan pengalaman yang bervariasi dengan metode yang efektif dan bervariasi. Pembelajaran harus memperhatikan minat dan kemampuan peserta didik.



Penggunaan metode yang tepat akan turut menentukan efektifitas dan efisiensi pembelajaran. Pembelajaran matematika perlu dilakukan dengan sedikit ceramah dan metode-metode yang berpusat pada guru, serta lebih menekankan pada interaksi peserta didik. Penggunaan metode yang bervariasi akan sangat membantu peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran matematika.
Pengalaman belajar di sekolah harus fleksibel dan tingkah laku, serta perlu menekankan pada kreativitas, rasa ingin tahu, bimbingan dan pengarahan kea rah kedewasaan. Sesuai dengan pendekatan seperti telah dibahas pada bahasan sebelumnya, pembelajaran harus dipilih dan dikembangkan untuk meningkatkan aktivitas dan kreativitas peserta didik. Tiap metode tidak berdiri sendiri tanpa terlibatnya metode lain. Berikut dikemukakan beberapa metode pembelajaran yang dapat dipilih oleh guru.
a.       Metode Ceramah
Ceramah merupakan suatu cara penyampaian informasi dengan lisan dari seseorang kepada sejumlah pendengar di suatu ruangan. Kegiatan berpusat pada penceramah dan komunikasi yang terjadi searah dari pembicara kepada pendengar. Penceramah mendominasi seluruh kegiatan sedang pendengar hanya memperhatikan dan membuat catatan seperlunya.
Metode ceramah merupakan metode mengajar yang paling banyak dipakai, terutama untuk bidang studi non eksakta. Hal ini mungkin dianggap oleh guru sebagai metode mengajar yang paling mudah dilaksanakan. Jika bahan pelajaran dikuasai dan sudah ditentukan urutan penyampaiannya, guru tinggal menyajikannya di depan kelas. Murid-murid memperhatikan guru berbicara, mencoba menangkap apa isinya dan membuat catatan.
Gambaran pengajaran matematika dengan metode ceramah adalah sebagai berikut. Guru mendominasi kegiatan belajar mengajar. Definisi dari rumus diberikannya. Penurunan rumus atau pembuktian dalil dilakukan sendiri oleh guru. Diberitahukannya apa yang harus dikerjakan dan bagaimana menyimpulkannya. Contoh-contoh soal diberikan dan dikerjakan pula oleh guru. Langkah-langkah guru diikuti dengan teliti oleh murid. Mereka meniru cara kerja dan cara penyelesaian yang dilakukan oleh guru.



b.      Metode Ekspositori
Metode ekspositori sama seperti metode ceramah dalam hal terpusatnya kegiatan kepada guru sebagai pemberi informasi (bahan pelajaran). Tetapi pada metode ekspositori dominasi guru banyak berkurang, karena tidak terus-menerus berbicara. ia berbicara pada awal pelajaran, menerangkan materi dan contoh soal, dan pada waktu-waktu yang diperlukan saja.
Murid tidak hanya mendengar dan membuat catatan. Tetapi juga membuat soal latihan dan bertanya kalau tidak mengerti. Guru dapat memeriksa pekerjaan murid secara individual, menjelaskan lagi kepada murid secara individual dan klasikal. Kalau dibandingkan dominasi guru dalam kegiatan belajar mengajar,metode ceramah lebih terpusat pada guru daripada metode ekspositori.
Pada metode ekspositori siswa belajar lebih aktif daripada metode ceramah. Murid mengerjakan latihan soal sendiri, mungkin juga dilakukan sambil bertanya dan mengerjakannya bersama dengan temannya, atau disuruh membuatnya di papan tulis. Melihat perbedaan-perbedaan di atas, cara mengerjakan matematika yang pada umumnya digunakan para guru matematika adalah lebih tepat dikatakan sebagai menggunakan metode ekspositori daripada ceramah. Yang biasa dinamakan mengajar matematika dengan metode ceramah (seperti yang tercantum dalam satuan pelajaran) menurut penjelasan di atas sebenarnya adalah metode ekspositori, sebab guru memberikan pula soal-soal latihan untuk dikerjakan murid di kelas.
c.       Metode Demonstrasi
Melalui metode demonstrasi, guru dapat memperlihatkan suatu proses, peristiwa, atau cara kerja suatu alat kepada peserta didik. Demonstrasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, dari yang sekadar memberikan pengetahuan yang sudah diterimabegitu saja oleh peserta didik, sampai pada cara agar peserta didik dapat memecahkan suatu masalah. Agar pembelajaran dengan menggunakan metode berlangsung secara efektif dan efisien, ada beberapa yang dapat dilakukan, yaitu :
1)      Lakukanlah perencanaan yang matang sebelum pembelajaran dimulai. Hal-hal tertentu perlu dipersiapkan, terutama fasilitas yang akan digunakan untuk kepentingan demonstrasi.
2)      Rumuskanlah tujuan pembelajaran dengan metode demonstrasi, dan pilihlah materi yang tepat untuk didemonstrasikan.
3)      Buatlah garis besar langkah-langkah demonstrasi, akan lebih efektif jika yang dikuasai dan dipahami baik oleh peserta didik maupun oleh guru.
4)      Tetapkanlah apakah demontrasi tersebut akan dilakukan guru atau oleh peserta didik, atau oleh guru kemudian diikuti peserta didik.
5)      Mulailah demonstrasi dengan menarik perhatian seluruh peserta didik, dan ciptakanlah suasan yang tenang dan menyenangkan
6)      Upayakanlah agar semua peserta didik terlibat secara aktif dalam kegiatan pembelajaran.
7)      Lakukanlah evaluasi terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan, baik terhadap efektivitas metode demonstrasi maupun terhadap hasil belajar peserta didik. Untuk memantapkan hasil pembelajaran melalui metode demonstrasi, pada akhir pertemuan dapat diberikan tugas-tugas yang sesuai dengan kegiatan yang dilaksanakan.
d.      Metode Tanya Jawab
Metode tanya jawab merupakan cara menyajikan bahan ajar dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan jawaban untuk mencapai tujuan. Umumnya pada tiap kegiatan belajar mengajar selalu ada tanya jawab. Namun, tidak pada setiap kegiatan belajar mengajar dapat disebut menggunakan metode tanya jawab. Dalam metode tanya jawab, pertanyaan-pertanyaan bisa muncul dari guru, bisa juga dari peserta didik, demikian pula halnya jawaban yang dapat muncul dari guru maupun peserta didik. Oleh karena itu, dengan menggunakan metode ini siswa menjadi lebih aktif daripada belajar mengajar dengan metode ekspositori. Meskipun aktivitas siswa semakin besar, namun kegiatan dan materi pelajaran masih ditentukan oleh guru. Dalam metode tanya jawab, pertanyaan dapat digunakan untuk merangsang keaktifan dan kreativitas berpikir siswa / peserta didik. Karena itu, mereka harus didorong untuk mencari dan menemukan jawaban yang tepat dan memuaskan.



Sebelum pertanyaan-pertanyaan itu diberikan, sebagai pengarahan diperlukan pula cara informatif. Bahan yang diajarkan masih terbatas pada hal-hal yang ditanyakan oleh guru. Inisiatif dimulai dari guru. Sesudah pengarahan, dimulailah dengan pengajuan pertanyaan. Jika pertanyaan terlalu sulit, jawaban siswa mungkin hanya “tidak tahu”, “tidak dapat”, gelengan kepala, atau hanya diam saja. Kelas diam bisa juga diakibatkan oleh sikap atau tindakan guru yang tidak menyenangkan siswa. Hal ini dapat menjengkelkan guru. Kalau guru marah karena hal tersebut, murid akan menjadi (lebih) takut untuk menjawab atau bertanya.
Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan metode tanya jawab, sebagai berikut:
1.      Guru perlu menguasai bahan secara penuh (maksimal), jangan sekali-kali mengajukan pertanyaan yang guru sendiri tidak memahaminya atau tidak tahu jawabannya.
2.      Siapkanlah pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada peserta didik sedemikian rupa, agar pembelajaran tidak menyimpang dari bahan yang sedang dibahas, mengarah pada pencapaian tujuan pembelajaran dan sesuai dengan kemampuan berpikir peserta didik (siswa).
Pertanyaan yang baik memiliki kriteria sebagai berikut :
a)      Memberi acuan, pertanyaan yang memberi acuan adalah suatu bentuk pertanyaan yang sebelumnya diberikan uraian singkat tentang apa-apa yang akan ditanyakan, jadi pertanyaan tersebut merupakan kelanjutan dari ceramah guru.
b)      Memusatkan jawaban, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan perlu dipusatkan pada apa-apa yang menjadi tujuan kegiatan pembelajaran.
c)      Memberi tuntunan, guru dapat menuntun peserta didik dengan pertanyaan-pertanyaan yang menuntun mereka pada jawaban yang benar. Melacak jawaban peserta didik, guru mengajukan beberapa pertanyaan kembali meskipun jawaban atas pertanyaan pertama sudah benar.





e.       Metode Penugasan
Metode ini biasa disebut dengan metode tugas. Pada metode ini guru memberikan seperangkat tugas yang harus dikerjakan peserta didik, baik secara individual maupun secara kelompok. Tugas yang paling sering diberikan dalam pengajaran matematika adalah pekerjaan rumah yang diartikan sebagai latihan menyelesaikan soal-soal. Kecuali ini, dapat pula menyuruh murid mempelajari lebih dulu topik yang akan dibahas. Metode tugas mensyaratkan adanya pemberian tugas dan adanya pertanggungjawaban dari murid. Tugas ini dapat berbentuk suruhan-suruhan guru seperti contoh-contoh di atas. Tetapi dapat pula timbul atas insiatif murid setelah disetujui oleh guru. Cara menilai hasil tugas tertulis kadang-kadang menimbulkan kesukaran. Bagaimana memberi nilai kepada seorang murid jika ia bekerja dalam suatu kelompok? Apakah ia benar-benar turut aktif berperan dalam menghasilkan laporan kelompok? Ataukah hanya tercantum namanya saja sebagai anggota kelompok? Jika laporan tertulis dibuat oleh tiap murid, apakah kita akan menilai prestasi seorang murid begitu saja berdasarkan hasil yang diserahkannya? Mungkin tulisannya benar tulisan murid itu sendiri, namun tidak tertutup kemungkinan apa yang ditulisnya adalah  hasil pekerjaan temannya atau orang lain. Agar penilaian lebih objektif dan menimbulkan rasa tanggung jawab, perlu dicek dengan mengajukan beberapa pertanyaan mengenai hasil pekerjaan yang dikumpulkan. Maksud pemberian soal-soal pekerjaan rumah adalah agar murid terampil menyelesaikan soal, lebih memahami, dan mendalami pelajaran yang diberikan di sekolah. Selain itu juga murid biasa belajar sendiri, menimbulkan rasa tanggung jawab, dan sikap positif terhadap matematika.
Karena itu janganlah memberi tugas yang terlalu sukar sehingga murid tidak mempunyai waktu untuk melakukan tugas lain dari sekolah atau kegiatan lain di luar sekolah. Juga jangan memberikan soal terlalu banyak, walaupun mudah. Sering memberikan soal-soal yang banyak dan sukar dapat mengakibatkan murid putus asa. Komposisi soal hendaknya terdiri dari yang mudah, sedang, sukar, dan tidak terlalu banyak. Memberikan tugas yang berlebihan  tidak akan menimbulkan sikap-sikap yang positif, malah mungkin sebaliknya.

Agar metode penugasan dapat berlangsung secara efektif, guru perlu memperhatikan langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Tugas harus direncanakan secara jelas dan sistematis, terutama tujuan penugasan dan cara pengerjaannya. Sebaliknya tujuan penugasan dikomunikasikan kepada peserta didik (siswa) agar tahu arah tugas yang dikerjakan.
2.      Tugas yang diberikan harus dapat dipahami peserta didik, kapan mengerjakannya, bagaimana cara mengerjakannya, berapa lama tugas tersebut harus dikerjakan, secara individu atau kelompok, dan lain-lain. Hal-hal tersebut akan sangat menentukan efektivitas penggunaan metode penugasan dalam pembelajaran.
3.      Apabila tugas tersebut berupa tugas kelompok, perlu diupayakan agar seluruh anggota kelompok dpat terlibat secara aktif dalam proses penyelesaian tugas tersebut, terutama kalau tugas tersebut diselesaikan di luar kelas.
4.      Perlu diupayakan guru mengontrol proses penyelesaian tugas yang dikerjakan oleh peserta didik. Jika tugas tersebut diselesaikan di kelas guru berkeliling mengontrol pekerjaan peserta didik, sambil memberikan motivasi dan bimbingan terutama bagi peserta didik yang mengalami kesulitan dalam penyelesaian tugas tersebut. Jika tugas tersebut diselesaikan di luar kelas, guru bisa mengontrol proses penyelesaian tugas melalui konsultasi dari pada peserta didik.
5.      Berikanlah penilaian secara proporsional terhadap tugas-tugas yang dikerjakan peserta didik. Penilaian yang diberikan sebaiknya tidak hanya menitikberatkan pada produk,tetapi perlu dipertimbangkan pula bagaimana proses penyelesaian tugas tersebut. Penilaian hendaknya diberikan secara langsung setelah tugas diselesaikan, hal ini disamping akan menimbulkan minat dan semangat belajar peserta didik, juga menghindarkan bertumpuknya pekerjaan peserta didik yang harus diperiksa.





f.       Metode Eksperimen
Metode eksperimen merupakan suatu bentuk pembelajaran yang melibatkan peserta didik bekerja dengan benda-benda, bahan-bahan, dan peralatan laboratorium, baik secara perorangan maupun kelompok. Eksperimen merupakan situasi pemecahan masalah yang di dalamnya berlangsung pengujian suatu hipotesis, dan terdapat variabel-variabel yang dikontrol secara ketat. Hal yang diteliti dalam suatu eksperimen adalah pengaruh variabel tertentu terhadap variabel yang lain.
Hal-hal yang perlu dipersiapkan guru dalam menggunakan metode eksperimen adalah sebagai berikut :
1.      Tetapkan tujuan eksperimen
2.      Persiapkan alat dan bahan yang diperlukan
3.      Persiapkan tempat eksperimen
4.      Pertimbangkan jumlah peserta didik sesuai dengan alat-alat yang tersedia.
5.      Perhatikan keamanan dan kesehatan agar dapat memperkecil atau menghindarkan risiko yang merugikan atau berbahaya.
6.      Perhatikan disiplin atau tata tertib, terutama dalam menjaga peralatan dan bahan yang akan digunakan.
7.      Berikan penjelasan tentang apa yang harus dikerjakan dan tahapan-tahapan yang mesti dilakukan peserta didik, termasuk yang dilarang dan yang membahayakan.
E.     Alat Peraga
1.      Pengertian Alat Peraga Pendidikan menurut para ahli
Sudjana, 2009, Pengertian Alat Peraga Pendidikan adalah suatu alat yang dapat diserap oleh mata dan telinga dengan tujuan membantu guru agar proses belajar mengajar siswa lebih efektif dan efisien.
Faizal, 20010, mendefinisikan Alat Peraga Pendidikan sebagai instrument audio maupun visual yang digunakan untuk membantu proses pembelajaran menjadi lebih menarik dan membangkitkan minat siswa dalam mendalami suatu materi.
Wijaya dan Rusyan,  1994 yang dimaksud Alat Peraga Pendidikan adalah media pendidikan berperan sebagai perangsang belajar dan dapat menumbuhkan motivasi belajar sehingga siswa tidak menjadi bosan dalam meraih tujuan-tujuan belajar.
Nasution, 1985 alat peraga pendidikan adalah alat pembantu dalam mengajar agar efektif”.
Suhardi, 1978  Pengertian alat peraga pendidikan atau Audio-Visual Aids (AVA) adalah media yang pengajarannya berhubungan dengan indera pendengaran
Sumad, 1972,   mengemukakan bahwa alat peraga atau AVA adalah alat untuk memberikan pelajaran atau yang dapat diamati melalui panca indera. Alat peraga merupakan salah satu dari media pendidikan adalah alat untuk membantu proses belajar mengajar agar proses komunikasi dapat berhasil dengan baik dan efektif.
Amir Hamzah, 1981 bahwa Alat Peraga Pendidikan adalah adalah alat-alat yang dapat dilihat dan didengar untuk membuat cara berkomunikasi menjadi efektif”. Sedangkan yang dimaksud dengan alat peraga menurut Nasution (1985: 95) adalah “alat bantu dalam mengajar lebih efektif”.
Dari uraian-uraian di atas jelaslah bahwa pengertian alat peraga pendidikan adalah merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada diri siswa.
2.      Tujuan dan Manafaat Alat Peraga Pendidikan
Berikut ini beberapa tujuan dan manfaat alat peraga disebutkan sebagai berikut:
a.       Alat peraga pendidikan  bertujuan agar proses pendidikan lebih efektif dengan jalan meningkatkan semangat belajar siswa,
b.      Alat peraga pendidikan  memungkinkan lebih sesuai dengan perorangan, dimana para siswa belajar dengan banyak kemungkinan sehingga belajar berlangsung sangat menyenangkan bagi masing-masing individu,
c.       Alat peraga pendidikan memiliki manfaat agar belajar lebih cepat segera bersesuaian antara kelas dan diluar kelas.
d.      alat peraga memungkinkan mengajar lebih sistematis dan teratur.

Secara ringkas, Proses pembelajaran memerlukan media yang penggunaannya diintegrasikan dengan tujuan dan isi atau materi pelajaran yang dimaksudkan untuk mengoptimalkan pencapaian suatu tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. Fungsi media pendidikan atau alat peraga pendidikan dimaksudkan agar komunikasi antara guru dan siswa dalam hal penyampaian pesan, siswa lebih memahami dan mengerti tentang konsep abstrak matematika yang diinformasikan kepadanya. Siswa yang diajar lebih mudah memahami materi pelajaran jika ditunjang dengan alat peraga pendidikan.
Secara jelas dan terperinci, berikut ini adalah faedah-faedah atau manfaat dari penggunaan alat bantu/peraga pendidikan yaitu antara lain sebagai berikut:
1)       Menimbulkan minat sasaran pendidikan.
2)       Mencapai sasaran yang lebih banyak.
3)       Membantu dalam mengatasi berbagai hambatan dalam proses pendidikan.
4)       Merangsang masyarakat atau sasaran pendidikan untuk mengimplementasikan atau melaksanakan pesan-pesan kesehatan atau pesan pendidikan yang disampaikan.
5)       Membantu sasaran pendidikan untuk belajar dengan cepat dan belajar lebih banyak materi/bahan yang disampaikan.
6)       Merangsang sasaran pendidikan untuk dapat meneruskan pesan-pesan yang disampaikan pemateri kepada orang lain.
7)       Mempermudah penyampaian bahan/materi pendidikan/informasi oleh para pendidik atau pelaku pendidikan.
8)       Mempermudah penerimaan informasi oleh sasaran pendidikan. Seperti diuraikan di atas, bahwa pengetahuan yang ada pada seseorang diterima melalui panca indera. Berdasarkan penelitian para ahli, bahwa indera yang paling banyak menyalurkan pengetahuan ke dalam otak adalah mata. Kurang lebih 75 % sampai 87 % dari pengetahuan manusia diperoleh/disalurkan melalui mata. Sedangkan 13 % sampai 25 % lainnya diperoleh atau tersalur melalui indera yang lain. Dari sini dapat disimpulkan bahwa alat-alat peraga/media/alat bantu visual akan lebih mempermudah cara penyampaian dan penerimaan informasi atau bahan atau materi pendidikan.
9)       Dapat mendorong keinginan orang untuk mengetahui, kemudian lebih mendalami, dan akhirnya mendapatkan pengertian yang lebih baik. Orang yang melihat sesuatu yang memang diperlukan tentu akan menarik perhatiannya. Dan apa yang dilihat dengan penuh perhatian akan memberikan pengertian bru baginya, yang merupakan pendorong untuk melakukan atau memakai sesuatu yang baru tersebut.
10)   Membantu menegakkan pengertian/informasi yang diperoleh. Sasaran pendidikan di dalam memperoleh atau menerima sesuatu yang baru, manusia mempunyai kecenderungan untuk melupakan atau lupa. Oleh sebab itu, untuk mengatasi hal tersebut, AVA (Audio Visual Aid – alat bantu/peraga audio visual) akan membantu menegakkan pengetahuan-pengetahuan yang telah diterima oleh sasaran pendidikan sehingga apa yang diterima akan lebih lama tersimpan di dalam ingatan.
3.      Contoh alat peraga matematika
Seperti daftar alat - alat peraga matematika ini yang bisa dimanfaatkan orang tua sebagai alat peraga matematika untuk mengajarkan dasar matematika kepada anak.
a.       Jam dinding
Letakkan jam dinding di dekat meja makan. Akan lebih baik bila terdapat 2 jenis jam dinding, yang model analog dan digital. Dengan jam dinding, orang tua bisa mengajarkan kepada anak tentang angka, waktu, dan kebiasaan sehari-hari
b.      Kalender dinding yang sudah tidak terpakai
Selain bisa digunakan untuk mengajarkan kepada anak tentang hari, juga bisa digunakan untuk mengajarkan tentang angka. Ajari anak untuk membaca angka secara vertikal, horisontal, dan  diagonal dengan memanfaatkan kumpulan angka tanggal pada kalender
c.       Permainan ular tangga
Ular tangga yang dimainkan dengan cara mengocok dadi bisa dijadikan sebagai alat peraga matematika untuk mengenalkan kepada anak tentang teori kemungkinan / probabilitas dan tentu saja bisa digunakan juga untuk mengajarkan kepada anak tentang cara berhitung.

d.      Cangkir / Botol
Bisa digunakan untuk mengajari anak tentang isi/volume benda. Gunakan cairan berwarna untuk mengajari mereka tentang isi/volume.
e.       Kacang – kacangan
Ajari anak berhitung dengan menggunakan kacang - kacangan. Bila perlu, gunakan 2 atau 3 jenis kacang yang berbeda untuk membantu anak memahami tentang penambahan dan pengurangan
f.       Meteran
Ajari anak cara melihat ukuran panjang sebuah benda dengan menggunakan meteran. Gunakan benda- benda kecil dahulu atau bisa juga memanfaatkan aneka perabot yang ada di rumah
g.      Kertas HVS
Ajari anak cara membuat bangun ruang, bangun datar, lingakaran, segitiga,dan lain-lain dengan menggunakan kertas HVS















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Heruman (2008) menyatakan dalam pembelajaran matematika SD, diharapkan terjadi reinvention (penemuan kembali). Penemuan kembali adalah menemukan suatu cara penyelesaian  secara informal dalam pembelajaran di kelas. Selanjut Heruman menambahkan bahwa dalam pembelajaran matematika harus terdapat keterkaitan antara pengalaman belajar siswa sebelumnya dengan konsep yang akan diajarkan. Sehingga diharapkan pembelajaran yang terjadi merupakan pembelajaran menjadi lebih bermakna (meaningful), siswa tidak hanya belajar untuk mengetahui sesuatu (learning to know about), tetapi juga belajar melakukan (learning to do), belajar menjiwai (learning to be), dan belajar bagaimana seharusnya belajar (learning to learn), serta bagaimana bersosialisasi dengan sesama teman (learning to live together).
Siswa Sekolah Dasar (SD) berada pada umur  yang berkisar antara usia 7 hingga 12 tahun, pada tahap ini siswa masih berpikir pada fase operasional konkret. Kemampuan yang tampak dalam fase ini adalah kemampuan dalam proses berpikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika, meskipun masih terikat dengan objek  yang bersifat konkret (Heruman, 2008). Siswa SD masih terikat dengan objek yang ditangkap dengan pancaindra, sehingga sangat diharapkan dalam pembelajaran matematika yang bersifat abstrak, peserta didik lebih banyak menggunakan media sebagai alat bantu, dan penggunaan alat peraga. Karena dengan penggunaan alat peraga dapat memperjelas apa yang disampaikan oleh guru, sehingga siswa lebih cepat memahaminya. Pembelajaran matematika di SD tidak terlepas dari dua hal yaitu hakikat matematika itu sendiri dan hakikat dari anak didik di SD.
B.     Saran
Semoga setelah kita membaca makalah ini dapat menambah wawasan kita semua khusnya bagi para pandidik dan calon pendidik, agar didalam mendidik peserta didik, para pendidik tahu apa saja yang akan dilakukannya




DAFTAR PUSTAKA


Marsudi Rahardjo, Alat Peraga Matematika SMA, P3G Matematika, Yogyakarta, 2005
Pujiati, Pembuatan Alat Peraga Matematika Sederhana, P3G Matematika, Yogyakarta, 2005
Piran Wiroatmojo dan SasonoharjoMedia Pembelajaran, Lembaga Administrasi Negara RI, Jakarta, 2002
Theresia Widyantini, Penggunaan Alat Peraga dalam Pembelajaran Matematika, P3G Matematika, Yogyakarta, 2005
Lisnawaty, S (1992). Metode Mengajar Matematika 1, Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Lisnawaty, S (1992). Metode Mengajar Matematika 2, Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Ruseffendi, ET, dkk (1992). Pendidikan Matematika 3, Jakarta : Depdikbud




No comments:

Post a Comment