|
Nama : Wahyu Rosidin
NIM : 130641073
Kelas : SD13.A2
Mata
kuliah : Etika Profesi
|
Salah
satu tujuan nasional bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa, di mana hal tersebut merupakan upaya pemerintah dalam
pembangunan nasional di bidang kependidikan dan diwujudkan dengan meningkatkan
kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta
menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan masyarakat
yang maju, adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Peningkatan
mutu pendidikan baik pendidikan formal, pendidikan non-formal dan pendidikan
informal, salah satunya dipengaruhi oleh kompetensi pendidik dan tenaga
kependidikan yang artinya bahwa peran pendidik dan tenaga kependidikan
merupakan faktor yang utama dalam peningkatan mutu pendidikan. Untuk memenuhi
kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan tersebut salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah melalui pelaksanaan outsourcing pegawai, yakni dengan
mengangkat Guru Tidak Tetap (GTT) di samping mengangkat Guru Tetap (Pegawai
Negeri Sipil/PNS). Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian yakni dalam Pasal 2 Ayat (3) bahwa di samping Pegawai Negeri
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) Pejabat yang berwenang dapat mengangkat
Pegawai Tidak Tetap. ( Janry Haposan U.P Simanungkalit, 2009 : Vol.3,No.2).
Guru
merupakan sosok utama dalam lembaga pendidikan. Kualitas lembaga tidak dapat
dipandang dari segi materi; seperti gedung megah, fasilitas lengkap, maupun
status sekolah (Negeri atau Swasta). Akan tetapi, out-put lembaga yang akan
dihasilkan. Sejauh mana mereka setelah lulus nanti, dapat terampil dengan
disiplin ilmu yang telah diperoleh selama menempuh pendidikan di lembaga
tersebut. Namun demikian, pemerintah hingga sekarang ini masih menganaktirikan
antara guru honorer (Non-PNS) atau wiyata bakti dengan guru negeri (PNS). Nasib
guru honorer di sekolah negeri maupun swasta masih belum jelas, disebabkan
sebagian besar sekolah tidak sanggup menaikkan pendapatan mereka. Sedangkan
bantuan dari pemerintah masih terbatas dan tidak merata (Kompas, 14 Mei 2009).
Profesi
guru adalah sebuah pekerjaan yang sangat mulia, tugas guru adalah mentransfer
ilmu pengetahuan, pengalaman, penanaman nilai-nilai budaya, moral dan agama.
Selain itu guru juga berfungsi sebagai motivator, konsoling dan pemimpin dalam
kelas. Kehadiran guru ditengah-tengah masyarakat merupakan unsur utama dan
terpenting (http://www.antoe.web.id/?p=438).
Upaya
guru dalam mendidik, membimbing, mengajar serta melatih anak didik bukanlah hal
yang mudah, hal tersebut membutuhkan keseriusan, pengalaman serta
profesionalisme dalam mengorganisasikan pembelajaran sehingga mampu menjadi
materi pelajaran yang dapat dan mudah dipahami anak didiknya dengan baik.
Seorang guru mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembangunan bangsa,
sehingga tugas yang diembannya sangat berat yaitu membawa misi pembelajaran,
pencerdasan dan pembaharuan. Pekerjaan guru honorer diharapkan dapat menjadi
profesi yang profesional, artinya guru honorer adalah penyedia jasa, akan
tetapi jasa yang diperoleh guru honorer masih sangat jauh dari yang diharapkan
atau bahkan di bawah upah minimum regional (UMR), hal ini sungguh sangat
memprihatinkan dan menyedihkan, di era globalisasi dan di tengah-tengah krisis
multi yang mempengaruhi biaya hidup menjadi tinggi seperti sekarang ini, mereka
tidak mungkin dapat berbuat maksimal tanpa mengetahui kebutuhan hidupnya.
Pengabdian guru honorer dalam mengemban tugas mengajar boleh saja ikhlas mereka
lakukan, tetapi mereka juga manusia biasa yang perlu memikirkan penghidupan,
ekonomi, kesejahteraan keluarganya dan dirinya sendiri dalam kehidupan
sehari-hari. Dapat kita lihat, nasib dan kesejahteraan guru honorer dewasa ini
masih sungguh memprihatinkan, karena mereka masih harus bekerja dengan
profesi-profesi yang lain untuk menutupi kebutuhan ekonomi keluarga.
Dalam
berbagai kebijakan, perhatian pemerintah baik pusat maupun daerah terhadap
nasib dan kesejahteraan guru honorer dirasa masih belum secara sungguh-sungguh
dan serius, ini justru semakin memperpanjang catatan dan masalah mengenai nasib
guru honorer di negeri ini khususnya di kota Surakarta. Bertitik tolak pada
masalah internal guru honorer baik yang menyangkut menurunnya kualitas,
diskriminasi, perlindungan hukum, status hukum kesejahteraan hidup dan
kurangnya perhatian serta pembinaan organisasi guru honorer. Hal ini ada
baiknya menjadi perhatian pemerintah dalam mencari solusi untuk menyelesaikan
masalah tersebut, mengingat betapa pentingnya tugas dan peranan guru honorer dalam
memajukan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Berubahnya
sistem pendidikan di negara ini telah melahirkan sejumlah peraturan
perundang-undangan di bidang pendidikan yang diharapkan dapat memberikan
harapan bagi guru honorer, akan tetapi pada kenyataannya peraturan-peraturan
tersebut belum mampu menyentuh dan memperbaiki nasib guru honorer, agar dapat
hidup lebih baik, layak dan sejahtera, seiring dengan perkembangan jaman yang
mengharuskan guru honorer untuk bekerja secara profesional, dengan sejumlah
tugas dan tanggung jawab yang berat yang harus dilaksanakan ditengah merosotnya
moral dan rendahnya kualitas pendidikan di negeri ini khususnya di kota
Surakarta. Diundangkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen dirasa belum menyentuh secara baik nasib serta kesejahteraan guru
honorer, padahal konstribusi yang diberikan oleh guru honorer dalam dunia
pendidikan di negara ini tidak dapat diabaikan begitu saja, karena mereka
mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembangunan sumber daya manusia
yang berkualitas. Sertifikasi profesi guru sebagaimana tertuang dalam
Undang-Undang Guru dan Dosen yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan
guru honorer, juga belum mampu menjadi sebuah kebijakan yang efektif dalam
menyelesaikan masalah kesejahteraan dan peningkatan status hukum profesi guru
honorer. Untuk itu, sebagai upaya balas jasa pemerintah atas kontribusi dan
dedikasi yang diberikan oleh tenaga honorer khususnya profesi guru, pemerintah
telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 48
Tahun 2005 junto Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2007 tentang Pengangkatan
Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang pelaksanaannya
hanya sampai tahun 2009 yang lalu (http://niasonline.net/2008/04/01/).
Adanya
Peraturan Pemerintah tersebut dirasa masih belum dapat menyelesaikan persoalan
mengenai pengangkatan tenaga honorer dalam hal ini guru honorer di kota
Surakarta, mengingat masih banyaknya guru honorer yang belum masuk database
Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kota Surakarta padahal mereka telah mengabdikan
diri selama bertahun-tahun. Hal itulah yang menghambat pelaksanaan pengangkatan
guru honorer yang jumlahnya begitu banyak, sedangkan tidak mungkin pemerintah
mengangkat semua guru honorer tersebut dikarenakan harus disesuaikan dengan
keadaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBN/APBD) yang nantinya digunakan untuk menggaji mereka.




No comments:
Post a Comment